Senin, 24 Desember 2012

asuhan keperawatan pada kolesistitis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Beberapa kelainan mempengaruhi sistem bilier dan mempengaruhi drainase empedu yang normal kedalam duodenum. Penyakit kandung empedu merupakan kelainan pada sisitem bilier, kelainan ini mencakup karsinoma yang menyumbat percabangan bilier. Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu menyebabkan nyeri tekan, dan kekakuan pada abdomen kuadran kanan atas yang disertai dengan gejala mual serta muntah. Colesistitis adalah reaklsi inflamasi dinding kandung empedu yang disertai dengan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas (Syaifoellah Noer,1999). Pada kelainan bilier tidak semua kejadian infeksi pada kandung empedu (kolesistitis) berhubungan dengan batu empedu (kolelitiasis) namun lebih dari 90% penderita kolesistitis akut menderita batu empedu.
Epidemiologi batu empedu di Amerika Serikat cukup tinggi sekitar  10-20% orang dewasa (± 20 juta orang). Setiap tahunnya bertambah  sekitar 1–3 % kasus baru dan sekitar 1–3% nya dari penderita kandung empedu  menimbulkan komplikasi . Kira – kira 500.000 orang yang menderita simptom batu empedu atau batu empedu dengan komplikasi dilakukan  kolesistektomi. Batu empedu bertanggung jawab pada 10.000 kematian  per tahun. Di Amerika Serikat, ditemukan  pula  sekitar 2000–3000 kematian disebabkan oleh kanker kandung empedu dan sekitar 80% dari kejadian penyakit batu empedu disertai dengan kolesistitis kronik. Sedangkan, epidemiologi di Indonesia belum dapat diketahui.  Pada kelainan bilier tidak semua kejadian infeksi pada kandung empedu (kolesistitis) berhubungan dengan batu empedu (kolelitiasis) namun lebih dari 90% penderita kolesistitis akut menderita batu empedu. Akan tetapi, kebanyakan diantara 15 juta orang Amerika yang memiliki batu empedu tidak merasa nyeri dan tidak menyadari adanya batu tersebut. Batu empedu tidak lazim di jumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidennya semakin sering pada individu berusia diatas 40 tahun.
Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis dapat terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau asam empedu, sehingga menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia.
Kolesistektomi adalah tindakan pilihan untuk pasien dengan batu empedu multipel/besar karena berulangnya pembentukan batu secara simtomatologi akut atau mencegah berulangnya pembentukan batu. Pendekatan lain yaitu dengan kolesistektomi dini. Keadaan umum dperbaiki dan sepsis diatasi dengan pemberian antibiotik seperti yang dilakukan pada pengobatan konservatif, sambil memastikan diagnosis memperbaiki keadaan umum, dan mengatasi penyakit penyerta seperti pankreatitis. Setelah 24-48 jam, keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi telah dapat diatasi. Tindak bedah dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan ini memberikan keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sampai 5-7 hari, dan mempersingkat masa sakit sekitar 30 hari. (Sjamsuhidajat Jong, 2003 : 579).
1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana konsep Kolisistitis dan asuhan keperawatan pada kolisistitis?
1.3  Tujuan
1.3.1        Tujuan umum
Mengidentifikasi konsep kolisistitis dan asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada kasus kolisistitis
1.3.2        Tujuan kusus
1.      Menjelaskan tentang anatomi fisiologi kandung empedu
2.      Menjelaskan tentang konsep kolisistitis
3.      Menjelaskan asuhan keperawatan pada kasus kolisistitis


1.4  Manfaat
1.4.1        Mahasiswa memahami konsep dan proses asuhan keperawatan pada klien dengan kolisistitis sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah.
1.4.2        Mahasiswa mengetahui proses asuhan keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit



















BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  HATI (HEPAR)
2.1.1  Anatomi Hati (Hepar)
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Batas atas hati sejajar dengan ruang intercostal V kanan dan batas bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak di depan vena kava dan dibalik kandung empedu.
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kuadatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang berbeda.  Pada dasarnya, garis Cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi.
Secara mikroskopis didalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus terbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.

2.1.2  Pembuluh Darah pada Hati
Hati mempunyai dua jenis pembuluh darah, yaitu:
a.       Arteri Hepatika, yang keluar dari aorta dan memberi 80% darah pada hati, darah ini mempunyai kejenuhan 95-100% masuk ke hati akan membentuk jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena, akhirnya keluar sebagai vena hepatica.
b.      Vena Porta, yang terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 20% darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limfe dan usus, guna darah ini membawa zat makanan ke hati yang telah diabsorbi oleh mukosa dan usus halus. Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hati dan setiap lobules disaluri oleh sebuah pembuluh sinusoid darah atau kapiler hepatica. Pembuluh darah halus berjalan diantara lobules hati disebut Vena interlobular.
2.1.3  Fungsi Hati
a.       Sekresi
-          Hati memproduksi empedu dibentuk dalam system retikulo endothelium yang dialirkan ke empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbs lemak.
-          Menghasilkan enzim glikogenik yang mengubah glukosa menjadi glikogen.
b.      Metabolisme
Ø  Metabolisme karbohidrat
Pemeliharaan kadar glukosa darah pada tingkat yang normal merupakan salah satu fungsi hati yang paling penting. Dalam keadaan postprandial, kadar glukosa darah tidak dibiarkan untuk naik cukup tinggi melalui reaksi yang diperantarai –insulin berikut ini:
-          Sintesa glikogen (glikogenesis) dalam hati di samping dalam otot skeletal.
-          Peningkatan pemecahan glukosa lewat reaksi glikolisis dan lintasan asam sitrat untuk menghasilkan energy dalam hati dan otot skeletal.
-          Sintesis asam lemak dalam hati dan penyimpangan dalam jaringan adipose
-          Sintesis asam-asam amino nonesensial dalam hati yang kemudian disatukan ke dalam protein otot.
Ø  Metabolisme protein
Hati merupakan tempat sintesis protein yang penting  disamping juga menjadi tempat penguraian protein. Hati mensintesis protein bukan hanya bagi kebutuhannya sendiri tetapi hati juga mensintesis sejumlah “protein ekspor” seperti albumin, factor pembekuan darah dan protein pembawa untuk transportasi subtansi tertentu seperti misalnya seruloplasma (untuk tembaga), transferrin (untuk besi), hepatoglobin (untuk hemoglobin plasma), prealbumin (untuk tiroksin, vitamin A). Transkortin, thyroxine-binding globulin dan protein pengikat-hormon gonad juga disintesis di dalam hati.
Ø  Metabolisme Amonia
Hati merupakan tempat utama deaminasi oksidatif asam-asam amino yang menghasilkan ammonia dan asam keton. Ammonia yang dilepaskan merupakan produk yang sangat toksik tetapi segera akan diubah menjadi produk yang relative kurang berbahaya yaitu urea (ureum).
Ø  Metabolisme lipid
Hati merupakan tempat utama reaksi anabolic, katabolic dan transportasi lemak/lipid. Lemak makanan terutama terdiri dari trigliserid dengan asam lemak rantai panjang disamping sedikit ester kolesterol dan fosfolipid. Trigliserid ini dihidrolisis di dalam intestinum, disatukan ke dalam kilomikron oleh sel-sel epitel intestinal dan dibawa ke dalam saluran limfatik.
c.       Penyimpanan
-          Hati menyimpan glikogen, lemak, vitamin A,D,E,K dan zat besi yang disimpan sebagai ferritin, yaitu suatu protein yang mengandung zat besi dan dapat dilepaskan bila zat besi diperlukan.
-          Mengubah zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan disimpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkannya sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.
d.      Detoksifikasi
Produk limba endogen yang larut air dan obat-obatan yang diberikan untuk terapi dapat diekskresikan dengan mudah oleh ginjal. Namun demikian, produk limbah yang larut lemak, hormone dan obat cenderung menumpuk di dalam tubuh kecuali jika substansi tersebut dimetabolisir menjadi produk yang tidak begitu toksik dan atau diubah menjadi derivate larut air yang dapat diekskresikan ka dalam getah empedu atau urin. Mekanisme detoksifikasi pada hati dapat dibagi menjadi dua fase:
·         Reaksi fase I melibatkan modifikasi kimia substansi tersebut lewat reaksi oksidasi, reduksi, hidroksilasi, deaminasi atau metilasi dan lain-lain. Reaksi semacam ini biasanya membuat substansi ini tidak aktif.
·         Reaksi fase II mengubah substansi tak aktif yang larut lemak menjadi derivatnya yang larut air (glukoronid, sulfat, asetil, taurin atau glisin ) dan dapat diekskresikan ke dalam getah empedu atau urin.
e.       Membentuk dan menghancurkan sel-sel darah merah selama 6 bulan masa kehidupan fetus yang kemudian diambil alih oleh sumsum tulang belakang.
f.       Fungsi imunologi
Hati merupakan komponen sentral system imun. Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limposit.
2.1.4  Regenerasi Hati
Berbeda dengan organ yang lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah terbatas, maka sekelompok sel pluripotensial oval yang berasal dari duktulus-duktulus empedu akan berproliferasi sehingga terbentuk kembali sel-sel hepatosit dan sel-sel bilier yang tetap mempunyai kemampuan untuk beregenerasi.
Kemampuan hati untuk beregenerasi setelah perlukaan jaringan atau reseksi bedah sangat mencengangkan. Dari penelitian dari model  binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari tikus dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah sel yang mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian dapat dikatakan sangatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga 2/3 dari seluruh hati.
2.2  KANDUNG EMPEDU
2.2.1  Anatomi Kandung Empedu
Sebuah kantung berbentuk terang dan merupakan membrane berotot, letaknya dalam sebuah lobus disebelah permukaan bawah hati sampai pinggir depannya, panjangnya 8-12 cm berisi 60 cm2 . Empedu yang dihasilkan hepatosit akan diekskresikan ke dalam kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi. Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang secara bertahap bila saluran empedu membesar.
Saluran empedu intrahepatic secara perlahan menyatu membentuk saluran yang lebih besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1 cm di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis.
Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus menjadi duktus koledokus. Pada beberapa keadaan, dinding duktus koledokus menjadi besar dan lumennya melebar sampai mencapai ampula. Biasanya panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dengan diameter berkisar antara 4-12 mm. kandung empedu menerima suplai darah terbesar dari jalinan pembuluh darah cabang arteri hepatica kanan. Kandung empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu dengan ukuran panjang 8-10 cm dan terdiri atas fundus, korpus dan kolum. Lapisan mukosanya membentuk cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut kantung Hartman, yang bisa menjadi tempat tertimbunnya batu empedu.
2.2.2  Komposisi Getah Empedu
Getah empedu adalah suatu cairan yang disekresikan setiap hari oleh sel hati yang dihasilkan setiap hari 500-1000cc, sekresinya berjalan terus-menerus, jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak. Empedu berwarna kuning kehijauan yang terdiri dari 97% air,pigmen empedu dan garam-garam empedu.
a)      Pigmen empedu, terdiri dari biliverdin. Pigmen ini merupakan hasil penguraian hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah terdisintegrasi. Pigmen utamnya adalah bilirubin yang memberikan warna kuning pada urin dan feses. Warna kekuningan pada jaringan (jaundice) merupakan akibat dari peningkatan kadar bilirubin darah dan ini merupakan indikasi kerusakan fungsi hati, peningkatan destruksi sel darah merah, atau obstruksi sel darah merah, atau obstruksi duktus empedu oleh batu empedu.
b)      Garam-garam empedu, yang terbentuk dari asam empedu yang berikatan dengan kolesterol dan asam amino. Setelah diekskresi ke dalam usus garam tersebut direabsorbsi dari ileum ke bagian bawah kembali ke hati dan didaur ulang kembali, peristiwa ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatika garam empedu. Fungsi garam empedu dalam usus halus adalah emulsifikasi lemak, absorbsi lemak, pengeluaran kolesterol dari tubuh.
2.2.3  Sekresi Empedu
Kandung empedu mempunyai peranan penting dalam pencernan lemak. Kandung empedu menampung ± 50 ml empedu yang dapat dibuat kembali dalam merespon pencernaan makanan. Empedu berperan dalam membantu pencernaan dan absorbsi lemak, ekskresi metabolit hati, dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam berat. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktus empedu. Epitel bilier berperan dalam menghasilkan 40% dari 600 ml produksi empedu setiap hati.
Asam-asam empedu dibentuk dari kolesterol didalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pancreas dan penyerapan lemak intraluminal. Konjugasi garam-garam empedu selanjutnya direabsorbsi oleh transport aktif spesifik dalam ileum terminalis, walaupun sekitar 20% empedu intestinal dikonjugasi oleh bakteri ileum. Empedu yang tidak direabsorbsi akan memetabolisme bakteri dalam kolon dan ± 50% akan direabsorbi kembali.
Bilirubin, suatu pigmen kuning dengan sebuah strutur tetrapinol yang tidak larut dalam air berasal dari sel-sel darah yang telah hancur (75%), katabolisme protein-protein heme (22%) dan inaktivasi eritropoiesis sumsum tulang (3%). Bilirubin yang tidak terkonjugasi akan ditransport ke dalam sirkulasi sebagai sebuah kompleks dengan albumin, walaupun sejumlah kecil dialirkan kedalam sirkulasi secara terpisah. Bilirubin larut lemak akan diubah menjadi larut air oleh hati melalui bebrapa langkah yang terdiri atas fase pengambilan spesifik, konjugasi dan ekskresi.
Sebenarnya bilirubin terkonjugasi tidak direabsorbsi dari duktus biliaris atau usus melainkan pada kolon. Kolon dapat mengkonjugasi bilirubin dan mengkonversi menjadi tetrapirol larut air yang dikenal sebagai urobilinogen. Kira-kira setengah dari urobilonogen akan direabsorbsi dan diekskresi oleh ginjal dan dikeluarkan bersama feses sebagai sterkobilin.
2.2.4  Kontrol Sekresi Aliran Empedu
Kandung empedu, saluran empedu ekstrahepatik dan spinkter Oddi merupakan struktur yang berperan penting dalam pergerakan dan pengaliran empedu. Hormone Kolesistokinin (CCK) merupakan stimulus fisiologis yang paling potensial bagi kontraksi kandung empedu disamping adanya komponen saraf otonom dan syaraf parasimpatis lainnya yang dapat menyebabkan relaksasi kandung empedu. Kadar CCK dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Efek utama hepatobilier pada hormone sekretin adalah meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit oleh epitelium biliaris.
2.2.5  Peranan Traktus Biliaris
Sesaat setelah empedu diekskresikan oleh hepatosit, empedu tersebut akan mengalami modifikasi pada saat melalui saluran biliaris. Modifikasi tersebut meliputi penarikan air melaui proses osmosis para seluler ke dalam empedu, pemisahan glutation menjadi asam amino yang dapat diabsorbsi kembali (seperti glukosa dan asam organic), dan sekresi bikarbonat dan ion-ion klorida secara aktif ke dalam empedu oleh mekanisme yang bergantung pada regulator transmembran fibrosis sistik (RTFC).
2.3  KOLESISTITIS
2.3.1        PENGERTIAN
Merupakan peradangan kandung empedu dapat bersifat akut, kronis dan hamper selalu berkaitan dengan batu empedu.
A.    Kolesititis Akut
a)      Pengertian
Radang kandung empedu (kolisistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Hingga kini pathogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolisistitis  dan batu empedu (kolelitiasis) di Negara kita relative rendah dibandingkan negara-negara barat.
b)      Klasifikasi
1)      Kolesistitis Kalkulosa Akut
Merupakan peradangan akut empedu yang mengandung batu dan dipicu oleh obstruksi leher kandung empedu atau duktus sistikus. Penyakit ini adalah penyulit utama tersering pada batu empedu dan penyebab tersering dilakukannya kolesistektomi darurat. Gejala mungkin timbul sangat mendadak dan merupakan suatu kedaruratan bedah akut. Dipihak lain gejala mungkin ringan  dan mereda tanpa intervensi medis.
Kolesistitis Kalkulosa Akut ini mungkin tidak menimbulkan atau memperlihatkan gejala hebat, nyeri abdomen atas yang hebat dan menetap dan sering menyebar ke bahu kanan. Kadang-kadang jika batu terletak di leher kandung empedu atau di duktus, nyeri bersifat kolik. Demam, mual, leukositosis dan lemah merupakan gejala klasik, adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi mengisyaratkan obstruksi duktus biliaris komunis. Region subkosta kanan sangat nyeri tekan dan kaku, akibat spasme otot abdomen, kadang-kadang dapat diraba kandung empedu yang membesar dan nyeri tekan.
Kolesistitis kalkulosa akut pada awalnya adalah akibat iritasi kimiawi dan peradangan dinding kandung empedu dalam kaitannya dengan hambatan aliran keluar empedu. Fosfolipase yang berasal dari mukosa menghidrolisis lestin empedu menjadi lisolestin, yang bersifat toksik bagi mukosa. Lapisan mukosa glikoprotein yang secara normal bersifat protektif rusak, sehingga epitel mukosa terpajan langsung ke efek deterjen garam empedu. Prostaglandin yang dibebaskan di dalam dinding kandung empedu yang teregang ikut berperan dalam peradangan mukosa dan mural. Peregangan dan peningkatan tekanan intralumen juga dapat mengganggu aliran darah ke mukosa. Proses ini terjadi tanpa ada infeksi bakteri, baru setelah proses berlangsung cukup lama terjadi kontaminasi oleh bakteri.
2)      Kolesistitis Akalkulosa Akut
Merupakan inflamasi kandung empedu akut tanpa adanya obstruksi oleh batu empedu. Kolesistitis akalkulus timbul sesudah tindakan bedah mayor, trauma berat atau luka bakar, sepsis. Faktor-faktor lain yang berkaitan dengan tipe kolesistitis ini mencakup obstreksi duktus sistikus akibat torsi, infeksi primer bakterial pada kandung empedu dan tranfusi darah yang dilakukan berkali-kali. Kolesistitis akalkulus diperkirakan terjadi akibat perubahan cairan dan elektrolit  atau dehidrasi serta aliran darah regional dalam sirkulasi visceral, stasis dan pengendapan dalam kandung empedu, gangguan pembuluh darah dan akhinya kontaminasi bakteri. Kejadiannya yang menyertai tindakan bedah mayor atau trauma mempersulit penegakan diagnosis keadaan ini
c)      Etiologi dan Patogenesis
Factor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperkirakan banyak factor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolestin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes mellitus.
d)     Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau scapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangrene atau perforasi kandung empedu.
Pada kepustakaan barat sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana LA,dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara kita. Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung emepedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis local (tanda Murphy).
Icterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay-colored”. Defisiensi Vitamin. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu obstruksi vitamin A, D, E, dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat menganggu pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dalam proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.
e)      Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan bati dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangrene, empyema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
f)       Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan mengigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empyema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan.
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopatik) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatic. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radiografi HIDA atau 99 n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihat gambaran duktus koledokus oral atau scintigrafi  sangat menyokong kolesistitis akut.
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG. Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan  atas yang tiba-tiba perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut dan infark miokard.
g)      Pengobatan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman umum yang terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, Strep, Faecalis dan Klebsiella.
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi ini menyatakan, timbulnya gangrene dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat dan biaya dapat di tekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut disekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat bedah-bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hamper mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi
Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan yang luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai  pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyak ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasive mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, serta kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien.
B.     Kolesistitis Kronik
Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan (Pridady,2007). Kolesistitis kronik adalah suatu keadaan dimana mukosa dan jaringan otot-otot polos kandung empedu diganti dengan jaringan ikat, sehingga kemampuan untuk memekatkan  empedu hilang (arif Mansjoer,2009). Kolesistitis kronik mungkin merupakan kelanjutan dari kolesistitis akut yang berulang, tetapi pada umumnya keadaan ini timbul tanpa riwayat serangan akut. Seperti kolesistitis akut, kolesistitis kronik hamper selalu berkaitan dengan batu empedu. Namun batu empedu tampaknya tidak berperan langsung dalam inisiasi peradangan atau timbulnya nyeri. Supersaturasi empedu mempermudah terjadinya peradangan kronik dan pada sebagian besar kasus pembentukan batu. Bagaimanapun, gejala kolesistitis kronik mirip dengan gejala bentuk akut dan berkisar dari kolik biliaris hingga nyeri kuadran kanan atas indolen dan distress epigastrium.
Perubahan morfologik pada kolesistitis kronik sangat bervariasi dan kadang-kadang minimal. Keberadaa batu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya peradangan akut sering dianggap sudah memadai untuk menegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin mengalami kontraksi, berukuran normal, atau membesar. Ulserasi mukosa jarang terjadi, submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya kolesistitis akut, limfosit didalam lumen adalah satu-satunya tanda peradangan.
a)      Gejala Klinis
Gambaran klinis mirip keadaan akut, yaitu nyeri perut kanan atas, kolik bilier, atau hanya rasa tidak enak di epigastrium, terdapat demam ringan dan hiperbilirubinemia ringan (arir Mansjoer,2009). Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, icterus dan kolik berulang, nyeri local di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.
Diagnosis banding intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastik, karsinoma kolon kanan, pankreatitis kronik atau kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan sebelum diputuskan untuk melaksanakan kolesistektomi.
b)      Diagnosis
Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde choledochopancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus.
c)      Penatalaksanaan
Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu empedu yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan ini agak sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain untuk mempertinggi resiko operasi.
2.3.2        KOMPLIKASI
Komplikasi  kantung  emped(empiema,  hidrops mukokel,  atau gangrene); gangren  bisa  menyebabkan  perforasi,  sehingga  menyebabkan  peritonitis, pembentukan  fistula,  pancreatitis,  empedu  seperti  air  lemon  dan  kantung empedu porselen

2.3.3        PATOFISIOLOGI
 




















BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1  PENGKAJIAN
3.1.1        Anamnesa
A.    Identitas Klien : Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,umur, pekerjaan, nama ayah/ ibu, pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir.
B.     Riwayat Kesehatan
1)      Keluhan utama : sakit perut sisi kanan atas, nyeri yang berpindah-pindah menjalar kadang sampai pundak, mual, muntah, perut terasa kembung, kulit berwarna kuning (apabila batu empedu menghalangi saluran empedu), suhu badan tinggi (demam).
2)      Riwayat kesehatan sekarang : Dapatkan  data  mengenai  kronologis  kejadian  sehingga  muncul keluhan  utama  yang  menyebabkan  pasien  datang  ke  tempat  pelayanan kesehatan.
·         Bagaimana            gejalanya?       (mendadak,     perlahan-lahan,            terus-menerus, serangan hilang timbul, berubah-ubah dalam waktu tertentu).
·         Tempat dan sifat gejala (menjalar, menyebar, berpindah-pindah, atau menetap).
·         Berat ringannya keluhan dan perkembangannya (menetap, cenderung bertambah, atau berkurang).
·         Berapa lama keluhan berlangsung?
·         Kapan dimulainya?
·         Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk meringankan.
3)      Riwayat kesehatan masa lalu : Dapatkan data mengenai
·         Riwayat  pemakaian  obat-obatan  :  jenis  obat,  dosis  yang  dikonsumsi, cara pemakaian dll
·         Pengalaman masa lalu tentang kesehatan : riwayat sakit dengan gejala yang   sama,   pengalaman      perawatan        di         rumasakit,    pengalaman tindakan bedah (operasi), pengalaman kecelakaan, dll
4)      Riwayat kesehatan keluarga : Dapatkan  data  mengenai  penyakit  menular  atau  menurun  yang dimiliki  keluarga. Seperti TBC, Diabetes, Hipertensi dll.
·         Apakah terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien?
5)      Riwayat kesehatan lingkungan : Dapatkan data mengenai lingkungan rumah tempat tinggal pasien sekarang.
·         Apakah  sedang  terjadi  wabah  penyakit  di  lingkungan  rumah tempat tinggal pasien?
·         Apakah merupakan daerah industri (rawan polusi)?
·         Lingkungan  yang  kurang  sehat?
·         Kondisi  rumah(ventilasi,  jendela,  kamar mandi/MCK) yang memadai?
6)      Riwayat psikososial
Dapatkan data mengenai masalah-masalah psikologis yang dialami pasien Seperti  beban  pekerjaan,  hubungan  dengan  lingkungan  sosial (keluarga dan  masyarakat), segalah hal yang menyebabkan stress psikis pada pasien yang berhubungan dengan kontak sosial
3.1.2        Data Dasar
§  Aktivitas dan istirahat:
-          Subyektif : kelemahan
-          Obyektif : kelelahan, gelisah
§  Sirkulasi :
-          Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
§  Eliminasi :
-          Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
-          Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat
§  Makan / minum (cairan) :
-          Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit, tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas, regurgitasi ulang, eruption, flatunasi, rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn), ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
-          Obyektif : Kegemukan, kehilangan berat badan (kurus).
§  Nyeri/ Kenyamanan :
-          Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu, nyeri apigastrium setelah makan, nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
-          Obyektif : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku biala kuadran kanan atas ditekan; tanda murphy positif
§  Respirasi :
-          Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
§  Keamanan :
-          Obyektif : demam menggigil, ikterik, kulit kering dan gatal (pruritus) , cenderung perdarahan (defisiensi Vit K ).
3.1.3        Pemeriksaan Fisik
1)      Kaji keadaan umum pasien: Meliputi kesan secara umum pada keadaan sakit termasuk ekspresi wajah (cemberut, grimace, lemas) dan posisi pasien. Kesadaran yang meliputi penilaian secara kualitatif (komposmentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, koma) dapat juga menggunakan GCS. Lihat juga keadaan status gizi secara umum (kurus, ideal, kelebihan berat badan)
2)      Kaji kondisi fisik pasien: pemeriksaan tanda-tanda vital, adanya kelemahan hingga sangat lemah, takikardi, diaforesis, wajah pucat dan kulit berwarna kuning, perubahan warna urin dan feses.
3)      Kaji adanya nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, mual dan muntah, gelisah dan kelelahan. Palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing untuk memeriksa ada atau tidaknya pembesaran pada organ tersebut
4)      Integumen  :  periksa ada tidaknya oedem, sianosis,icterus, pucat, pemerahan luka pembedahan pada abdomen sebelah kanan atas.
5)      Kaji perubahan gizi-metabolik: penurunan berat badan, anoreksia,  intoleransi lemak, mual dan muntah, dispepsia, menggigil, demam, takikardi, takipnea, terabanya kandung empedu.
6)      Ekstremitas : Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan
3.1.4        Pemeriksaan Penunjang
§  Darah lengkap:
-          Leukositosis sedang (akut), bilirubin dan amilase serum: meningkat.
-          Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak meningkat alkaline fosfat dan 5-nukletiase; Di tandai obstruksi bilier.
-          Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus  menurunkan    absorbsi vitamin K.
§  Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal).
§  Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanualas duktus koledukus melalui deudenum.
§  Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan flouroskopi anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ekterik ada ).
§  Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem empedu. Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut. CT Scan: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi/non obstruksi.
§  Scan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier.
§  Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
§  Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menunjukkan penyebaran nyeri.
3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1)      Nyeri b/d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan/nekrosis
2)      Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d dispensi dan hipermortilitas gaster, gangguan proses pembekuan darah, peningkatan metabolisme
3)      Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual, muntah, gangguan pencernaan lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat


3.3   RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL
1

Nyeri b/d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan/nekrosis

Tujuan:
Setelah dilakukan
perawatan selama… , klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang. Klien dapat mengkompensasi nyeri dengan baik
Kriteria Hasil:
- Skala nyeri 0-4
- Grimace (-)
- Gerakan melokalisir nyeri (-)
- Gerakan bertahan (defensife) pada daerah nyeri (-)
- Klien tenang





1.      Pantau tingkat dan intensitas
nyeri.
2.      Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)
3.      Beri kompres hangat (hati-hati dengan klien yang mengalami perdarahan)
4.      Beri posisi yang nyaman
5.      Kondisikan lingkungan yang
tenang di sekitar klien
6.      Catat repons terhadap obat dan laporkan bila nyeri tidak hilang.
7.      Kolaborasi pemberian analgesik
sesuai program terapi.








1.      Tingkat dan intensitas nyeri merupakan data dasar yang dibutuhkan perawat sebagai pedoman pengambilan intervensi, sehingga setiap perubahan yang terjadi harus terus dipantau.
2.      Teknik relaksasi (nafas dalam) dapat membantu menurunkan ketegangan otot, menurunkan mediator stress seperti katekolamin dan menigkatkan endorphin yang dapat membantu untuk mengurangi rasa nyeri.
3.      Kompres hangat dapat memberikan efek vasodilator dan relaksasi otot sehingga dapat digunakan sebagai terapi penurun ketegangan yang dapat berpengaruh terhadap penurunan nyeri. Namun harus diperhatikan penggunaannya pada pasien dengan perdarahan.
4.      Posisi yang nyaman membantu menurunkan ketegangan otot. Posisi tidur yang salah dapat mencetuskan kekakuan otot yang mengakibatkan rasa nyaman terganggu.
5.      Kondisi lingkungan yang tenang dapat membantu menurunkan tingkat stress klien sehingga dapat mempengaruhi respon klien terhadap nyeri.
6.      Nyeri berat yang tidak hilang dapat menunjukkan adanya komplikasi
7.      Analgesik berfungsi untuk melakukan hambatan pada sensor nyeri sehingga sensasi nyeri pada klien berkurang.


2

Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan melalui gaster, muntah distensi dan hipermotilitas gaster, dan gangguan pembekuan darah, peningkatan metabolisme

Tujuan:
Keseimbangan cairan adekuat
Kriteria hasil:
-          Dibuktikan oleh tanda vital stabil
-          Membran mukosa lembab,
-          Turgor kulit baik,
-          Pengisian kapier baik,
-          Eliminasi urin normal,
-          Tidak ada muntah


1.      Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan
2.      Awasi belanjutnya mual/muntah, kram abdomen,kejang ringan, kelemahan
3.      Anjurkan cukup minum
4.      Kaji pendarahan yang tidak biasa contohnya pendarahan pada gusi,mimisan, petekia, melena
5.      Kaji ulang pemeriksaan laboraturium
6.      Beri cairan IV, elektrolit, dan vit. K


1.      Memberikan informasi tentang status cairan / volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian cairan.
2.      Muntal berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan klorida.
3.      Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
4.      Protrombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko hemarogi.
5.      Membantu dalam proses evaluasi volume cairan
6.      Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan.

3

Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual, muntah, gangguan pencernaan lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat

Tujuan:
Klien memenuhi
kebutuhan nutrisi harian sesuai dengan tingkat aktivitas dan kebutuhan metabolik
Kriteria hasil:
-Klien dapat menjelaskan
tentang pentingnya nutrisi bagi klien
-Bebas dari tanda malnutrisi
-Mempertahankan berat
badan stabil
-Nilai laboratorium
normal (Hb, Albumin)


.
1.      Berikan perawatan oral teratur.
2.      Catat berat badan saat masuk dan bandingken dengan saat berikutnya
3.      Kaji distensi abdomen, berhati-hati, menolak gerak
4.      Pemeriksaan laboratorium/Hb- Ht-elektrolit-Albumin.
5.      Jelaskan tentang pengontrolan dan pemberian konsumsi karbohidrat, lemak (makanan rendah lemak dapat mencegah serangan pada klien dengan kolelitiasis dan kolesistitis), protein, vitamin, mineral dan cairan yang adekuat.
6.      Anjurkan mengurangi makanan berlemak dan menghasilkan gas
7.      Konsultasikan dengan ahli gizi untuk menetapkan kebutuhan kalori harian dan jenis makanan yang sesuai bagi klien.
8.      Anjurkan klien istirahat sebelum makan,
9.      Tawarkan makan sedikit namun sering.
10.  Batasi asupan cairan saat makan.
11.  Sajikan makanan dalam keadaan hangat.
12.  Kolaborasi cairan IV







1.      Perawatan oral dapat mencegah
ketidaknyamanan karena mulut
kering, bibir pecah dan bau tidak sedap yang dapat menurunkan nafsu makan klien.
2.      Berat badan merupakan data yang diperlukan perawat untuk mengevaluasi perkembangan terapi nutrisi klien sehingga perawat dapat menyesuaikan terhadap kebutuhan intervensi.
3.      Menunjukkan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri
4.      Nilai laboratorium merupakan data yang diperlukan perawat untuk mengevaluasi keberhasilan atau keefektifan intervensi sehingga perawat dapat menentukan intervensi yang sesuai bagi klien.
5.      Pendidikan pada klien perlu dilakukan agar klien mengerti dan paham tentang intervensi yang dilakukan perawat sehingga diharapkan klien dapat bersikap adaptif.
6.      Pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri
7.      Ahli gizi dapat menghitung kalori yang dibutuhkan klien menurut aktivitas yang dilakukan klien, sehingga diharapakan jumlah asupan kalori yang dikonsumsi klien dapat memenuhi kebutuhan harian, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
8.      Kondisi tegang dapat menurunkan nafsu makan klien, istirahat dapat mengurangi ketegangan klien sehingga dapat membantu klien dalam meningkatkan nafsu makan.
9.      Makan terlalu banyak dalam satu waktu dapat menyebabkan distensi lambung yang berakibat ketidaknyamanan bagi klien sehingga nafsu makan klien makin menurun.
10.  Asupan cairan berlebih saat makan menyebabkan distensi lambung yang mengakibatkan ketidaknyamanan.
11.  Makanan yang sudah dingin menyebabkan rasa yang kurang menyenangkan bagi klien sehingga menurunkan nafsu makan klien.
12.  Cairan glukosa IV dapat diberikan apabila pasien benar-benar tidak mendapatkan asupan per-oral, cairan glukosa IV juga dapat menyediakan kalori bagi klien sehingga klien tidak mengalami kekurangan nutrisi.


3.4  EVALUASI
1)      Klien merasa nyaman dan nyeri berkurang
2)      Tidak terjadi  ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
3)      Tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
4)      Tidak terjadi komplikasi