Rabu, 05 Januari 2011

ANTIHISTAMINIKA





feksofenadin

Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamine terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamine(penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu jenis antihistamin yaitu epinefrin yang merupakan antagonis fisiologik pertama yang digunakan,tetapi. Antar tahun 1937-1972,beratus-ratus antihistamin  ditemukan dan digunakan dalam terapi dan efeknya tidak banyak berbeda. Setelah ditemukan jenis reseptor khusus pada tahun sesudah 1972,yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamine dapat dibagi menjadi dua tipe,yaitu reseptor H1 dan reseptor H2. Berdasarkan penemuan ini,antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok,yaitu antagonis reseptor H1 (singkatnya disebut H1 blockers atau antihistamin) dan antagonis reseptor H2 (H2 blocker,zat-zat penghambat asam. Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan pelepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
1.      Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamin
1.1  Antagonis Reseptor Histamin H1 (AH1)
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut
Ar1                                              H
          X-CH2-CH2-N-
Ar2                                   H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N,C atau –C-O-. Pada struktur AH1 ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamine.secara kimia AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat dilihat pada table 1.1


 
Table 1.1 penggolongan antihistamin (AH1)
Golongan Obat dan contoh obat
Masa Kerja (Jam)
Dosis Tunggal Dws
Aktivitas antikolinergik
efek
ANTIHISTAMIN GENERASI I
Etanolamin :




- Difenhidramin HCl
2-6
25-50 mg
+++
Sedasi ringan sampai sedang
- Dimenhidrinat
4-6
50mg
+++
Sedasi kuat,anti-motion sickness
- karboniksamin
3-3
4-8mg
+++
Sedasi kuat,anti-motion sickness
Alkilamin:




- klorfeniramin
4-6
4-8 mg
+
Sedasi ringan, komponen obat flu
-bromfeniramin
4-6
4-8mg
+
Sedasi ringan
Etilendiamin :




- Tripenelamine HCl
4-6
25-50 mg
+
Sedasi sedang
-pirilamin
4-6
25-50mg
+
Sedasi sedang
Fenotiazin :




- Prometazine HCl
4-6
10-25 mg
+++
Sedasi kuat,antiemetik
Piperazin




- hidroksizin
6-24 
25-100 mg
?
Sedasi kuat
-siklizin
4-6
25-50mg
-
Sedasi ringan, antimotion sickness
- meklizin
12-24
25-50mg
-
Sedasi kuat,anti-motion sickness
Lain-lain :




- Siproheptadin
±6
4 mg
+
Sedasi sedang,antiserotonin
- Mebhidrolin napadisilat
±4 
50-100 mg
+

ANTIHISTAMIN GENERASI 2
feksofenadin
12-24
60mg
-
Resiko aritmia lebih rendah
Astemizol
- Loratadin
<24
24
10mg
10 mg
-
-
Mula kerja lambat
Masa kerja lebih lama
setrizin
12-24
5-10mg
-



a.      FARMAKODINAMIK
·         Antagonisme terhadap histamine
AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,bronkus dan bermacam –macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamine endogen berlebihan.
·         Otot polos
Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokontriksi akibat histamine dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot
·         Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1
·         Reaksi anafilaksis dan alergi
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan hitamin saja yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektifitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-beda,tergantung beratnya gejala akibat histamine.
·         Kelenjar eksokrin
Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamine, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamine.
·         Susunan syaraf pusat
AH1 dapat merangsang maupun manghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya adalah insomnia,gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Golongan etanolamin misalnyadifenhidramin paling jelas menimbulkan kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat. Antihistamin ggenerasi 2 misalnya terfenadine,astemizol tidak atau sangan sedikit menembus sawar darah otak, sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk,gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin dan setirizin. Beberapa obat AH1 juga efektif mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain. Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi rigiditas dan memperbaiki kelainan pergerakan.
·         Anastetik local
Beberapa AH1 bersifat anastetik local dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik untuk anastetik local adalah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut diperlukan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
·         Antikolinergik
Banyak AH1 bersifat mirip atropine. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadine dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.
·         System kardiovaskuler
Dalam dosis terapi AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada system kardiovaskuler. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anasetik lokalnya.
b.      FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorbsi dengan baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6jam, sedangkan beberapa derivate piperizin seperti miklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi II. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya., kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru, sedangkan pada limpa,ginjal,otak,otot dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan metabolit aktif hasil karboksilasi adalah setrizin,sedangkan feksofenadin merupakan metabolit aktif hasil karboksilasi terfenadine. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
c.       INDIKASI
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
ü  Penyakit alergi, AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut, misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif,membatasi dan menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen – antibody terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari allergen,desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronchial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga AH1 saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronchial  ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma bronchial berat, aminofilin,epineprin dan isoproterenol merupakan pilihan utama. Pada reaksi anafilaktik, AH1 hanya merupakan tambahan  dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angioedema berat dengan edema laring, epinefrin juga paling baik hasilnya. Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi karena epinefrin:
§  Lebih efektif daripada AH1
§  Efeknya lebih cepat
§  Merupakan antagonis fisiologik dari histamine dan autakoid lainnya.
Artinya epinefrin mengubah respon vasodilatasi akibat histamine dan autakoid lain menjadi vasokontriksi. Demikian pula AH1 dapat melawan efek bronkokontriksi oleh histamine tetapi tidak bersifat bronkodilatasi seperti yang diperlihatkan epinefrin.
AH1 dapat menghilangkan bersin,rinore, dan gatal pada mata,hidung, dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknua lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada rhinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan , karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis atopic,dermatitis kontak, dan gigitan serangga.
Reaksi tranfusi darah tipe nonhemolitik dan nonpirogenik ringan dapat diatasi dengan AH1. Demikian juga reaksi alergi gatal-gatal, urtikaria,angioedema umumnya dapat diobati dengan AH1
ü  Mabuk perjalanan dan keadaan lain, AH1 tertentu misalnya difenhidramin, dimenhidrinat, derivate piperazin dan prometazin dapat digunakan untuk mencegh dan mengobati mabuk perjalanan udara,laut atau darat. Dahulu digunakan skopolamin untuk mabuk perjalanan berat dengan jarak dekat (kurang dari 6 jam). Tetapi sekarang AH1 lebih banyak digunakan , karena efektif dengan dosis relative kecil. Karena AH1 seperti juga skopolamin memiliki antikolinergik yang kuat , maka diduga sebagian besar efek terhadap mabuk perjalanan didasarkan oleh efek antikolinergik. Untuk mencegah mabuk perjalanan AH1 sebaiknya diberikan setengah jam sebelum berangkat. AH1 terpilih untuk mengobati mabuk perjalanan ialah prometazin, difenhidramin, siklizin, dan meklizin. Meklizin cukup diberikan sekali sehari.
AH1 efektif untuk dua pertiga kasus fertigo,mual dan muntah. AH1 efektif sebagai antimuntal pascabedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit Meniere dan gangguan vestibular lain. Penggunaan AH1 lain untuk mengobati pasien paralisis agitans (penyakit Parkinson) yaitu mengurangi rigiditas dan tremor

Efek samping hypnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien yang sensitive terhadap AH1. Sifat anatetik local AH1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal . tetapi harus diingat bahwa pada penggunaan topical AH1 ini bisa menyebabkan sensitivitas kulit. 

Kontraindikasi : hipersensitivitas dan glaucoma sudut sempit. Jangan digunakan pada bayi baru lahir dan premature.
Perhatian : pasien lansia lebih rentan terhadap efek antikolinergik yang merugikan dari antihistamin. Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan obstruksi pylorus, hioertropi prostat, hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, penyakit hati berat, gunakan hati-hati pada kehamilan dan laktasi.
d.      EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang- kadang hilang bila diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu, kadang – kadang efek samping ini sangan mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Terapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, Insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Pengguanaan astemizol, suatu antihistamin nonsedatif selama lebih dari 2 minggu dilaporkan dpat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala,rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis alergik. Demam dan fotosensitivitas jug pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangan jarang menimbulkan komplikasi berupa leucopenia dan agranulositosis.
Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazole,itrakonazol atau antibiotic golongan makrolid seperti eritromisin dapat mengakibatkan terjadinya perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel(torsades de pointes) yang mungkin fatal. Keadaan ini disebabkan karena antimikroba diatas menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4 sehingga terjadi peningkatan kadar antihistamin didalam darah. Karena interaksi yang berbahaya tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien yang mendapat ketokonazol,itrakonazol atau antibiotic golongan makrolid dan juga pada pasien dengan penyakit hati. Demikian pula dengan jus grapefruit yang juga menghambat CYP3A4 dan meningkatkan kadar terfenadin plasma secara bermakna. Beberapa Negara telah menarik izin pemasaran terfenadin dan menggantikannya dengan feksofenadin, yang merupakan hasil karboksilasi terfenadin yang tidak toksik terhadap jantung.
e.       INTOKSIKASI AKUT AH1
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persendian dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi,eksitasi,ataksia,inkoordinasi,atetosis, dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan dimuka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespirasi yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa manifestasi keracunan biasanya berupa depresi  pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
f.       PENGOBATAN
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan dengan baik. Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini justru lebih baik daripada memberikan analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi maka diberikan thiopental atau diazepam.

"which require to be paid attention : a worker or driver needing care for using AH1 have to be warned about possibility incidence of sleepness. Also AH1 as mixture to recipe have to be used carefully because effect of AH1 have the character of additive with alcohol, hypnotic or tranquilizer of sedative "

g.Perhatian : pasien lansia lebih rentan terhadap efek antikolinergik yang merugikan dari antihistamin. Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan obstruksi pylorus, hioertropi prostat, hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, penyakit hati berat, gunakan hati-hati pada kehamilan dan laktasi.

1.2  Antagonis Reseptor Histamin H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi atau menghambat sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus.burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan diklinik. Antagonis reseptor H2  adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.

Reaksi merugikan dari penggunaan agent ini termasuk sakit kepala, pusing, mengantuk, bingung (pada lansia), diare, konstipasi, kembung, ruam, ginekomastia (pasien pria), hipotensi dan takikardia/bradikardia (setelah dosis intravena)
 
a.      SIMETIDIN dan RANITIDIN
§  FARMAKODINAMIK
Simetidin dan Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selective dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin dan ranitidine sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal, simetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan Ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
§  FARMAKOKINETIK
Bioavailabilitas oral simetidin 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorbs simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorbs  simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada psien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai 1-3 jam setelah penggunaan 150mg ranitidine secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama dihati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan metabilitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresikan dalam urin dalam bentuk asal. Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada fetus, namun karena simetidin,ranitidine dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat melalui plasenta  maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus.
§  INDIKASI
Simetidin,ranitidine dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.
Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800mg, ranitidine 300mg,famotidin 40mg atau nizatidin 300mg satu kali sehari selama 8 minggu. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi. Terapi pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan hanya membutuhkan dosis setengahnya dan diberikan satu kali sehari. Umumnya obat diberikan secara oral.
Selain untuk tukak duodenum, dengan dosis yang sama, simetidin,ranitidine dan antagonis reseptor H2 lainnya juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.
 Antagonis reseptor H2 juga diindikasi untuk gangguan refluks lambung-esofagus (gastroesophageal refluks disorder =GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan  frekuensi pemberian yang lebih sering dan dosis perhari yang mungkin lebih besar.
Pada pasien Zollinger Ellison syndrome, simetidin,ranitidine dan  antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tetapi memerlukan dosis yang jauh lebih besar dan pemberian yang lebih sering dibandingkan dengan tukak peptic. Antagonis reseptor H2 juga diindikasi untuk profilaksis tukak stress (stress ulcer)
§  EFEK SAMPING
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain nyeri kepala,pusing, malaise,mialgia,mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan, libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidine tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidine terhadap peninggian prolaktin ini kecil.
§  INTERAKSI OBAT
Antacid dan metoklopramid mengurangi bioavaibilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis,akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antacid atau metoklopramid dan simetidin oral.
Ketokonazol harus diberikan 2 jam sebelum pemberian simetidin karena absorbsi ketokonazole berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketokonazole membutuhkan pH asam untuk dapat bekerja dan menjadi kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2.
Simetidin menghambat sitokrom P450 sehingga menurunkan aktivitas  enzim mikrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan terakumulasi jika diberikan  bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin antara lain warfarin, fenitoin, kafein, mofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol, dan imipramin.
Ranitidine lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidine. Nifedipin, warfarin, teofilin, dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan ranitidine. Selain penghambatan terhadap sitokrom P 450 diduga ada mekanisme lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidine dapat menghambat absorbs diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.
Penggunaan ranitidine bersama antacid atau antikolinergik sebaiknya diberikan dengan selang waktu 1 jam.  Simetidin dan ranitidine cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat klirens obat lain. Simetidin dapat menghambat alcohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alcohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi  dan peningkatan kadar lidokain serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturate dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa slurred speech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi dan kejang. Gejala- gejala tersebut hilang/membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala seperti dimensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidine menyebabkan gangguan SSP ringan, mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia, granulositopenia, toksisitas, terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan kreatinin plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi simetidin dan kreatinin. Simetidin(tidak ranitidine) dapat meningktkan beberapa respon imunitas seluler (cell-mediated immune response) terutama pada individu dengan depresi system imunologik. Pemberian simetidin dan ranitidine IV sesekali menyebabkan brakikardia dan efek kardiotoksik lain.
b.      FAMOTIDIN
§  FARMAKODINAMIK
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidine, famotodin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malan dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada  ranitidine dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
§  FARMAKOKINETIK
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavaibilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
§  INDIKASI
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidine dan simetidin. Pada penelitian perbandingan selama 6 bulan, famotidin juga mempangaruhi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger –Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung,refluks esofagitis dan pencegahan tukak stress kurang lebih sama dengan antagonis reseptor H2 lainnya.
§  EFEK SAMPING
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan ranitidine, famotidin tampaknya lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek anti androgenic.
§  INTERAKSI OBAT
Famotidintidak mengganggu oksidasi diazepam, teofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bila diberikan bersama AH2.
§  DOSIS
* Oral : pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40mg satu kali sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptic tanpa komplikasi dan klirens kreatinin < 10ml/menit, dosis awal 20mg pada saat akan tidur. Dosis pemeliharaan untuk pasien tukak duodenum 20mg. untuk pasien sindrom zollinger-ellison pada keadaan hipersekresi asam lambung lainnya, dosis harus diindividualisasi. Dosis awal per oral yang dianjurkan 20mg tiap 6 jam.
* intravena : pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, famotidin diberikan IV 20mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus dititrasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.
c.       NIZATIDIN
§  FARMAKODINAMIK
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidine.
§  FARMAKOKINETIK
Bioavaibilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma  sekitar 11/2 jam  dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal, 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin selama 16 jam.
§  INDIKASI
Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidine dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2 lainnya. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger Ellison dan gangguan asam lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidine meskipun masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.
§  EFEK SAMPING
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menimbulkan hepatotoksisitas rendah . nizatidin tidak mempunyai efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alcohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alcohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat system P450. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interkasi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam, atau lorazepam. Penggunanan bersama antacid tidak menurunkan absorbs nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektif  bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.
§  DOSIS
Oral : untuk orang dewasa dengan tukak duodenum aktif dosis 300mg sekali sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, 2 kali sehari. Tukak sembuh pada 90% kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptic tanpa komplikasi dan klirens kreatinin kurang dari 10mL/menit dosis awal harus dikurangi 50%. Untuk pengobatan pemeliharaan tukak duodenum, dosis 150mg pada saat akan tidur lebih efektif daripada placebo.
Untuk pasien dewasa dengan tukak lambung aktif digunakan dosis yang sama dengan pasien tukak duodenum, akan tetapi masih diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.


Table:dosis antagonis reseptor H2 dalam pengobatan ulkus peptikum
Obat
Pengobatan akut
Pemeliharaan
Dosis max
Simetidin (tagamet)
800 mg malam/400mg pagi dan malam atau 200mg 3 x sehari p.c dan 400mg malam (pemberian antacid setelah makan dapat diberi untuk meredakan nyeri)
400mg malam
2 g per hari
Ranitidine (zantac)
300mg  malam atau 150 mg pagi dan malam
150 mg malam
900 mg perhari
Famotidin (pepcidine)
40 mg malam
20 mg malam
480 mg perhari
Catatan: dosis malam diminum sebelum tidur malam

1.3  Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, A-349, 821 ,ABT-239  thiopiramide dan clobenpropit.

1.4  Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida , JNJ 7777120,VUF-6002
.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah pelepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya

DAFTAR PUSTAKA
1.Hoan tjay,tan dan rahardja,kirana.1978.obat-obat penting khasiat,penggunaan dan efek-efek sampingnya.Jakarta:PT Elex Media Komputindo
2.Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007. farmakologi dan terapi edisi 5.Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3.Bertra M,Katzung.1997.Farmakologi Dasar dan Klinik Ed 6.Jakarta : EGC
4 Deglin,Judith hopfer,Vallerand.2004. Pedoman obat untuk perawat.Jakarta:EGC
5.Tambayong,Jan.2001. Farmakologi untuk perawat.Jakarta:Widya Medika
6.Olson, James.2003. Belajar mudah Farmakologi.Jakarta:EGC