Sabtu, 14 Juli 2012

HIPERGIKEMIA,HIPOGLIKEMIA DAN DIABETES MELLITUS


BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1  Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar  5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa  dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan  embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
1)      Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2)      Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.

Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
1)      Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
2)      Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
3)      Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang  normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh  dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.

2.2  HIPOGLIKEMIA
2.2.1        Pengertian
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Adapun batasan hipoglikemia adalah:
Hipoglikemi murni      : ada gejala hipoglikemi, glukosa darah < 60 mg/dl
Reaksi hipoglikemi      : gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak, misalnya  dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
Koma hipoglikemi       : koma akibat gula darah < 30 mg/dl
Hipoglikemi reaktif     : gejala hipoglikemi yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan.
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi kalau kadar glukosa darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L). keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemi dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian ini dapat dijumpai sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda atau jika pasien lupa makan camilan.
2.2.2        Etiologi
·         Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
·         Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
·          Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
·          Kelaiana pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati.
·         Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan berhubungan dengan obat. Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan obat lebih jauh dapat dibagi lagi menjadi:
ü  Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah berpuasa
ü  Hipoglikemia reaktif, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi terhadap makan, biasanya karbohidrat.
·         Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya.  Jika dosisnya lebih tinggi dari makanan yang dimakan maka obat ini bisa terlalu banyak menurunkan kadar gula darah. Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah.
·         Pentamidin yang digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS juga bisa menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia kadang terjadi pada penderita kelainan psikis yang secara diam-diam menggunakan insulin atau obat hipoglikemik untuk dirinya.
·         Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga menyebabkan stupor.  Olah raga berat dalam waktu yang lama pada orang yang sehat jarang menyebabkan hipoglikemia.
·         Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia hanya jika terdapat penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal) atau mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di hati bisa menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula darah yang adekuat.
·         Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa bisa menyebabkan hipoglikemia.
·         Bayi dan anak-anak yang memiliki kelainan sistem enzim hati yang memetabolisir gula bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya.
·         Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya (hipoglikemia alimenter, salah satu jenis hipoglikemia reaktif).  Hipoglikemia terjadi karena gula sangat cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan. Kadar insulin yang tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang cepat. Hipoglikemia alimentari kadang terjadi pada seseorang yang tidak menjalani pembedahan. Keadaan ini disebut hipoglikemia alimentari idiopatik.
·         Jenis hipoglikemia reaktif lainnya terjadi pada bayi dan anak-anak karena memakan makanan yang mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi pelepasan glukosa dari hati, leusin merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas. Akibatnya terjadi kadar gula darah yang rendah beberapa saat setelah memakan makanan yang mengandung zat-zat tersebut.
·         Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur dengan gula (misalnya gin dan tonik). Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa menyebakan hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma). Kadang tumor diluar pankreas yang menghasilkan hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan hipoglikemia.
·         Penyebab lainnya adalah penyakti autoimun, dimana tubuh membentuk antibodi yang menyerang insulin. Kadar insulin dalam darah naik-turun secara abnormal karena pankreas menghasilkan sejumlah insulin untuk melawan antibodi tersebut. Hal ini bisa terjadi pada penderita atau bukan penderita diabetes.
·         Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau gagal jantung, kanker, kekurangan gizi, kelainan fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan infeksi yang berat.
Penyakit hati yang berat (misalnya hepatitis virus, sirosis atau kanker) juga bisa menyebabkan hipoglikemia.
2.2.3        Gejala
Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun, system saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam darah menyebabkan gejala seperti :
·         Tremor
·         Takikardi
·         Palpitasi
·         Kegelisahan
·         Rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada system saraf pusat mencakup :
·         Ketidakmampuan konsentrasi
·         Sakit kepala
·         Vertigo
·         Konfusi
·         Penurunan daya ingat
·         Pati rasa di daerah bibir dan lidah
·         Bicara pelo
·         Gerakan tidak terkoordinasi
·         Perubahan emosional
·         Perilaku yang tidak rasional
·         Penglihatan ganda
·         Perasaan ingin pingsan.
Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami gangguan sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup :
*      Perilaku yang mengalami disorientasi
*      Serangan kejang
*      Sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
Gejala hipoglikemia dapat terjadi mendadak dan tanpa terduga sebelumnya. Kombinasi semua gejala tersebut dapat bervariasi antara pasien yang satu dan lainnya. Sampai derajat tertentu, gejala ini dapat berhubungan dengan tingkat penurunan kadar glukosa darah yang sebenarnya atau dengan kecepatan penurunan kadar tersebut. Sebagai contoh, pasien yang biasanya memiliki glukosa darah dalam kisaran hiperglikemia (misalnya, sekitar 200-an atau lebih ) dapat merasakan gejala hipoglikemi (adrenergik) kalau kadar glukosa darahnya secara tiba-tiba turun hingga 120 mg/dl (6,6 mmol/L) atau kurang. Sebaliknya, pasien yang biasanya memiliki kadar glukosa drah yang rendah namun masih berada dalam rentang yang normal dapat tetap asimtomatik meskipun kadar glukosa tersebut turun secara perlahan-lahan sampai dibawah 50 mg/dl (2,7 mmol/L).
Factor lain yang berperan dalam menimbulkan perubahan gejala hipoglikemi adalah penurunan respon hormonal (adrenergik) terhadap hipoglikemi. Keadaan ini terjadi pada sebagian pasien yang telah menderita diabetes selama bertahun-tahun. Penurunan respon adrenergic tersebut dapat berhubungan dengan salah satu komplikasi kronis diabetes yaitu neuropati otonom. Dengan penurunan kadar glukosa darah, limpahan adrenalin yang normal tidak terjadi. Pasien tidak merasakan gejala adrenergic yang lazim seperti perasaan lemah. Keadaan hipoglikemi ini mungkin baru terdeteksi setelah timbul gangguan system saraf pusat yang sedang atau berat.
2.2.4        Patofisiologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidakmampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen di dalam otak orang dewasa, dan ketidaktersediaan keton dalam fase makan atau kondisi pos absorptif.
Terdapat sedikit perdebatan tentang manakala gula darah turun dengan tiba-tiba, otak mengenali defisiensi energinya setelah kadar serum turun jauh dibawah sekitar 45 mg/dl. Kadar dimana gejala-gejala timbul akan berbeda dari satu pasien dengan pasien lain, dan bukanlah hal yang tidak lazim pada kadar serendah 30 sampai 35 mg/dl untuk terjadi (spt, selama tes toleransi glukosa) tanpa gejala-gejala yang telah disebutkan. Yang lebih kontroversial adalah pertanyaan tentang apakah gejala-gejala dapat berkembang dalam berespon terhadap turunnya kadar gula darah bahkan sebelum turun di bawah batasan kadar normal. Karena suatu respon fisiologi tertentu, seperti pelepasan hormon pertumbuhan, terjadi dengan penurunan gula darah namun tetap normal, tampaknya gejala-gejala terjadi pada kondisi ini, tetapi stimulus penurunan kadar kemungkinan kurang kuat dan konsisten dibanding penurunan dibawah ambang absolut.
Bagaimanapun, otak tampak dapat beradaptasi sebagian terhadap penurunan kadar gula darah, terutama jika penurunan terjadi lambat dan kronis. Bukanlah hal yang tidak lazim bagi pasien dengan gula darah yang sangat rendah, seperti yang terjadi pada tumor pensekresi insulin, untuk memperlihatkan fungsi serebral yang sangat normal dalam menghadapi gula darah yang rendah terus menerus dibawah batasan normal.
2.2.5        Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa. (Mansjoer A 1999: 604). Di kutip dari www.medicare.com ada berbagai pemeriksaan penunjang meliputi :
ü  perpanjangan pengawasan puasa, tes primer untuk hypoglikemia, perpanjanganya (48-72 jam) setelah pengawasan puasa.
ü  Tes bercampur makanan, tes ini di gunakan jika anda mempunyai tanda puasa (2 jam PP)
ü  Tes urine di simpan untuk mencari substansi keton.
ü  Tes ini juga mencari tes pancreas atau penyakit endokrin.

2.2.6        Penatalaksanaan
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit).
Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan.
Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil.

2.3  HIPERGLIKEMI
2.3.1        Pengertian
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah daripada rentang kadar puasa normal 80 – 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah ( Elizabeth J. Corwin, 2001 )
Hiperglikemia, hiperglikemia, atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi di mana jumlah yang berlebihan glukosa beredar dalam plasma darah. Ini umumnya merupakan tingkat glukosa darah 10 + mmol / l (180 mg / dl), tetapi gejala mungkin tidak memulai untuk menjadi terlihat sampai nomor kemudian seperti 15-20 + mmol / l (270-360 mg / dl) atau 15,2 -32,6 mmol / l. Namun, tingkat kronis melebihi 125 mg / dl dapat menghasilkan kerusakan organ.
Kadar glukosa bervariasi sebelum dan sesudah makan, dan pada berbagai waktu hari, definisi "normal" bervariasi di kalangan profesional medis. Secara umum, batas normal bagi kebanyakan orang (dewasa puasa) adalah sekitar 80 sampai 110 mg / dl atau 4 sampai 6 mmol / l. Sebuah subjek dengan rentang yang konsisten di atas 126 mg / dl atau 7 mmol / l umumnya diadakan untuk memiliki hiperglikemia, sedangkan kisaran yang konsisten di bawah 70 mg / dl atau 4 mmol / l dianggap hipoglikemik. Dalam puasa orang dewasa, darah glukosa plasma tidak boleh melebihi 126 mg / dl atau 7 mmol / l. Berkelanjutan tingkat yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan gula darah ke pembuluh darah dan ke organ-organ mereka suplai, yang mengarah ke komplikasi diabetes.
2.3.2        Etiologi :
Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan penting.
Yang lain akibat pengangkatan pancreas, pengrusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans. Faktor predisposisi herediter, obesitas. Faktor imunologi; pada penderita hiperglikemia khususnya DM terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai jaringan asing.
2.3.3        Patofisiologi
Sindrome Hiperglikemia mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat.  Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.
2.3.4        Pathway hiperglikemia


2.3.5        Menifestasi klinik :
Gejala awal umumnya yaitu ( akibat tingginya kadar glukosa darah):
·         Poliplagi, merasa lapar, ingin makan terus
·         Polidipsi, merasa haus terus
·         Poliuri, kencing yang sering dan banyak
·         Kelainan kulit, gatal-gatal, kulit kering
·         Rasa kesemutan, kram otot
·         Visus menurun
·         Penurunan berat badan
·         Kelemahan tubuh dan luka yang tidak sembuh-sembuh
2.3.6        Faktor risiko:
*      Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
*      Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
*      Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
*      Riwayat keluarga DM
*      Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
*      Riwayat DM pada kehamilan
*      Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
*      Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) (http://endokrinologi.freeservers.com)
2.3.7        Komplikasi Hiperglikemia
Dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
a)      Komplikasi akut
1.      Komplikasi metabolic
·         Ketoasidosis diabetic
·         Koma hiperglikemik hiperismoler non ketotik
·         Hipoglikemia
·         Asidosis lactate
2.      Infeksi berat
b)      Komplikasi kronik
1.      Komplikasi vaskuler
·         Makrovaskuler : PJK, stroke , pembuluh darah perifer
·         Mikrovaskuler : retinopati, nefropati
2.      Komplikasi neuropati
Ø  Neuropati sensorimotorik, neuropati otonomik gastroporesis, diare diabetik, buli – buli neurogenik, impotensi, gangguan refleks kardiovaskuler.
3.      Campuran vascular neuropati
Ø  Ulkus kaki
4.      Komplikasi pada kulit
2.3.8         Pemeriksaan penunjang :
Diagnosis dapat dibuat dengan gejala-gejala diatas + GDS > 200 mg% (Plasma vena). Bila GDS 100-200 mg% → perlu pemeriksaan test toleransi glukosa oral. Kriteria baru penentuan diagnostik DM menurut ADA menggunakan GDP > 126 mg/dl. Pemeriksaan lain yang perlu diperhatikan pada pasien Diabetes Mellitus:
-          Hb
-          Gas darah arteri
-          Insulin darah
-          Elektrolit darah
-          Urinalisis
-          Ultrasonografi
2.3.9         Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi Hiperglikemia adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dan upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropati. Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia :
a)      Diet
Ø  Komposisi makanan
Ø  Jumlah kalori perhari
Ø  Penilaian status gizi
b)      Latihan jasmani
c)      Penyuluhan
d)     Obat berkaitan Hipoglikemia
Ø  Obat hipoglikemi oral
Ø  Insulin

2.4  DIABETES MELITUS
2.4.1        Asal mula diabetes mellitus
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada Papyrus Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus dan Paracelsus kurang lebih 30 tahun SM juga menemukan penyakit itu, tetapi baru 200 tahun kemudian, Aretaeus menyebutnya sebagai penyakit anah dan menamai penyakit itu diabetes dari kata diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari satu tempat ke tempat lain. Cendekiawan india dan china  pada abad 3 sampai 6 masehi juga menemukan penyakit ini, malah dengan mengatakan bahwa urin pasien-pasien rasanya manis. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti  digelimangi madu dan gula. Oleh karena itu sejak itu nama penyakit ini ditambah dengan kata mellitus.


2.4.2        Pengertian
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.(Suyono,2011).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemik kronis pada diabetes mellitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Sedang sebelumnya WHO 1980 berkata bahwa DM suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah factor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi insulin.(Soegondo,2011).
2.4.3        Diagnosis
Diagnose DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menetukan diagnose DM harus diperhatikan asala bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan ialah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperlihatkan angka-angka kriteria diagnostic yang berbeda dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.(lihat table 1).
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringannya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut:
1)      Usia ≥ 45 tahun
2)      Usia lebih muda, terutama dengan indeks masa tubuh (IMT) > 23kg/m2, yang disertai dengan fakrot resiko:
§  Kebiasaan tidak aktif
§  Turunan pertama dari orang tua dengan DM
§  Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi> 4000 gram, atau riwayat DM gestasional
§  Hipertensi (≥140/90mmHg)
§  Kolesterol HDL≤35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250mg/dL
§  Menderita polycyctic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin.
§  Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) standar.
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM(mg/dL)


Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)
Plasma vena
<100
100-199
≥200
Darah kaliper
<90
90-199
≥200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
Plasma vena
<100
100-125
≥126
Darah kapiler
<90
90-99
≥100
Catatan:
Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa factor resiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun
2.4.4        Klasifikasi
Dalam bebrapa decade akhir inihasil penelitian baik klinis maupun laboratoris menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu keadaan yang heterogen baik sebab maupun macamnya. Selama bertahun-tahun hal ini telah digumuli oleh banyak ahli ternama dengan tujuan mencapai persetujuan internasional tentang prosedur diagnostic, kriteria dan terminology. Pada tahun 1965 WHO dengan Expert Committee on Diabetes Mellitus-nya mengeluarkan suatu laporan yang berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya penyakit, dan menganjjurkan pemakaian istilah –istilah pada klasifikasi tersebut seperti: childhood diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics, Elderly Diabetics.
Tetapi kenyataannya di kemudian hari pembagian yang tegas tidak dapat dilakukan sebab sebagian dari pasien yang berumur kurang dari 30 tahun mendapat diabetes tipe orang dewasa yang tidak begitu berat (Maturity onset diabetes of the young atau MODY) dan sebaliknya didapat pasien-pasien yang berumur lebih dari 40-45 tahun insulin dependen atau memerlukan insulin (insulin requiring) untuk memasukan asupan makanan yang cukup untuk mempertahankan kekuatan dan stabilitas berat badannya.
Klasifikasi yang dipakai WHO dan NDDG tidak didasarkan atas umur atau waktu mendapat diabetes tetapi berdasarkan tipe diabetes. Joslin (1971) pernah membaginya atas “heredutery” dan “Non –hereditery”, dimana “Hereditery” terbagi lagi atas Growth onset (juvenill) type dan Maturity-onset (adult) type.
Walaupun secara klinis terdapat dua macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spectrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin secara total atau hamper total dikatakan sebagai diabetes “juvenile onset” atau” insulin dependen” atau “ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.
Kelompok besar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe 2) tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau auto-imunitas dan biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.
Table 2. klasifikasi etiologi DM
Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
Ø  Autoimun
Ø  idiopari
Tipe 2
Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain
§    defek genetic fungsi sel beta
§    defek genetic kerja insulin
§    penyakit eksokrin pancreas
§    endokrinopati
§    karena obat atau zat kimia
§    infeksi
§    sebab imunologi yang jarang
§    sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes mellitus gestasional



Penetapan klasifikasi tipe 1 atau tipe 2
Diabetes pada orang dewasa seringkali langsung dinyatakan DM tipe 2, hal ini merupakan suatu kesimpulan yang terlalu cepat diambil, karena diabetes tipe ini merupakan suatu kelainan yang sangat heterogen dan mempunyai berbagai bentuk. Suatu studi di Denmark memberikan suatu gambaran lain yaitu DM tipe 1 tidak jarang terjadi pada orang dewasa. Ia dapat terjadi pada semua umur dan kekerapan akan meningkat secara kumulatif mulai umur 30 tahun, sehingga resiko terjadinya DM tipe 1 berhubungan dengan umur lama hidup. GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) merupakan autoantigen  terhadap sel beta pancreas dan terdapat pada 80% DM tipe 1 baru dan juga terdapat pada 80% subyek 10 tahun sebelum terjadinya diabetes tipe 1.
Kadang-kadang memang sulit untuk menetapkan seseorang termasuk dalam klasifikasi tipe apa. Misalnya seorang denga diabetes tipe 2 dan berat badan kurang, selama ini memakai insulin sering kali dianggap sebagai tipe 1. Atau seorang anak atau remaja yang baru diketahui diabetes dan berasal dari keluarga dengan diabetes dengan keturunan autosomal dominan diabetes (MODY). Orang ini biasanya masuk dalam diabetes tipe 2 dan sebaiknya tidak diklasifikasikan sebagai tipe 1 hanya berdasarkan umurnya saja. Juga didapat orang diabetes dengan karakteristik diabetes tipe 2 dan memerlukan insulin untuk  mengendalikan diabetes tetapi tidak tergantung pada insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis, sebaiknya tidak diklasifikasikan sebagai tipe 1, hanya berdasarkan tipe pemakaian insulinnya.
Di bawah ini ada beberapa karakeristik yang dapat digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2:
DM tipe 1
*      mudah terjadi ketoasidosis
*      pengobatan harus dengan insulin
*      onset akut
*      biasanya kurus
*      biasanya pada usia muda
*      berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
*      didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)
*      riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%
*      30-50% kembar identic terkena
DM tipe 2:
*      Tidak mudah terjadi ketoasidosis
*      Tidak harus dengan insulin
*      Onset lambat
*      Gemuk atau tidak gemuk
*      Biasanya >45 tahun
*      Tidak berhubungan dengan HLA
*      Tak ada Islet Cell Antibody (ICA)
*      Riwayat keluarga (+) pada 30%
*      ±100% kembar identic terkena.
2.4.5        Patofisiologi
Pancreas yang disebut kelenjar ludah perut, adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormone insulin yang sangt berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila isulin tidak ada, maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalams el dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat. Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
Pada keadaan diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin bisa normal, bahkan lebih banyak, tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan DM tipe 2, jumlah lubang kuncinya kurang, sehingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit, sehingga sel kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan keadaan DM tipe 1, bdanya adalah pada DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal. Pada DM tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih tetapi kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam sel. Di samping penyebab di atas, DM juga bisa terjadi akibat gangguan transport glukosa di dalam sel sehingga gagal digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolism energy.




2.4.6        Gejala dan Tanda-Tanda Awal
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita.  Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah :
a)      Keluhan klasik
1.      Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah.
2.      Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relative singkat harus menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan penurunan prestasi di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
3.      Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.
4.      Banyak minum
Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
5.      Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.
b)      Keluhan lain
1.      gangguan saraf tepi/ kesemutan
penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu tidur.
2.      gangguan penglihatan
pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
3.      gatal/bisul
kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Seringpula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
4.      gangguan ereksi
gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.
5.      Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan
2.4.7        Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dapat muncul secara akut dan secara kronik, yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap diabetes mellitus.
v  Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
Dua komplikasi akut yang paling penting adalah reaksi hipoglikemia dan koma diabetik.
1)      Reaksi Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing, dan sebagainya. Penderita koma hipoglikemik harus segera dibawa ke rumah sakit karena perlu mendapat suntikan glukosa 40% dan infuse glukosa. Diabetisi yang mengalami reaksi hipoglikemik (masih sadar), atau koma hipoglikemik, biasanya disebabkan oleh obat anti-diabetes yang diminum dengan dosis terlalu tinggi, atau penderita terlambat makan, atau bisa juga karena latihan fisik yang berlebihan.
2)      Koma Diabetik
Berlawanan dengan koma hipoglikemik, koma diabetik ini timbul karena kadar darah dalam tubuh terlalu tinggi, dan biasanya lebih dari 600 mg/dl. Gejala koma diabetik yang sering timbul adalah:
·         makan menurun (biasanya diabetisi mempunyai nafsu makan yang besar)
·         Minum banyak, kencing banyak
·         Kemudian disusul rasa mual, muntah, napas penderita menjadi cepat dan dalam, serta berbau aseton
·         Sering disertai panas badan karena biasanya ada infeksi dan penderita koma diabetik harus segara dibawa ke rumah sakit
v  Komplikasi Kronis Diabetes Mellitus
Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik). Untuk kemudahan, angiopati diabetik dibagi 2 :
·         Makroangiopati (makrovaskular)
·         Mikroangiopati (mikrovaskular)
·         Walaupun tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan.
2.4.8        Pengelolaan Diabetes Mellitus
Dalam pengelolaan diabetes mellitus untuk jangka pendek tujuannya adalah menghilangkan keluhan/gejala DM dan memepertahankan rasa nyaman dan sehat. Untuk jangka panjang, tujuannya lebih jauh lagi, yaitu mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kelainan metabolic pada pasien DM, seperti kelainan kadar glukosa darah, lipid maupun berbagai kelainan yang juga berpengaruh pada pencapaian tujuan jangka panjang tersebut, seperti tekanan darah dan berat badan. Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe 2 adalah terdapatnya factor genetic, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pancreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan.
Dalam mengelolah diabetes mellitus langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis, berupa perencanaan makan dan kegiatan jasmani. Baru kemudian kalau dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes  yang ditentukan belum tercapai, dilanjutkan dengan langkah berikut, yaitu penggunaan obat/ pengelolaan farmakologis. Pada kebanyakan kasus, umumnya dapat diterapkan langkah seperti tersebut diatas. Pada keadaan kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stress) pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya berupa suntikan insulin. Tentu saja dengan tidak melupakan pengelolaan non farmakologis. Umumnya pada keadaan seperti tersebut diatas, pasien memerlukan perawatan rumah sakit.
Pilar utama pengendalian DM
1)      Perencanaan makan
2)      Latihan jasmani
3)      Obat berkasiat hipoglikemik
4)      Penyuluhan
1)      Perencanaan makanan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat     45-60%
Protein             10-20%
Lemak             20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan jasmani. Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = indeks massa tubuh (IMT). IMT = BB(kg)/TB (m2).
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kgBB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-30%, untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi, sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stress akut (infeksi dsb) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan(anak dan dewasa muda) serta ibu hamil, diperlukan perhitungan tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung, dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan, 10-15%) diantaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Pada dasarnya perencanaan makan pada diabetes mellitus tidak berbeda denga perencanaan makan pada orang normal. Untuk mendapatkan keparuhan terhadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan  penukar akan sangat membantu pasien.
2)      Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yaitu sifatnya sesuai CRIPE (continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging. Seperti perencanaan makan, mengenai latihan jasmani juga memerlukan pembicaraan tersendiri yang lebih rinci
Ø  Adaptasi fisiologis pada olahraga pada orang diabetisi
Pada orang normal perubahan metabolic yang terjadi akibat berolahraga sesuai dengan lama, beratnya latihan dan tingkat kebugaran. Hal yang sama juga terjadi pada diabetisi namun selain itu dipengaruhi pola oleh kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairang tubuh.
Pada diabetisi tidak terkendali, olahraga akan menyebabkan terjadinya peningkatan glukosa darah dan benda keton yang dapat berakibat fatal. Pada suatu penelitian  di dapatkan bahwa diabetisi tidak terkontrol dengan glukosa darah sekitar 332mg/dl, olahraga tidak menguntungkan malah berbahaya. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya peningkatan glucagon plasma dan kortisol, yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya benda keton. Sebaiknya bila diabetisi ingin berolahraga, kadar glukosa darah tidak lebih dari 250mg/dl.
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, karena itu disebut sebagai jaringan insulin – dependent. Sedangkan pada otot yang yang aktif, walaupun kebutuhan otot terhadap glukosa meningkat, tetapi tidak disertai peningkatan kadar insulin. Hal ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya kepekaan reseptor insulin di otot dan bertambahnya jumlah reseptor insulin yang aktif pada waktu berolahraga. Oleh karena itu otot yang aktif disebut juga jaringan non-insulin dependen. Peningkatan kepekaan ini berakhir hingga cukup lama setelah masa latihan berakhir. Selain beberapa teori yang ada mengenai penyebab terjadinya resistensi insulin, didapatkan sebuah teori yang menjelaskan penyebab peningkatan sensitivitas insulin pada saat berolahraga. Keadaan ini dijelaskan sebagai berikut, yaitu pada waktu berolahraga blood flow (BF) meningkat, ini menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga lebih banyakm reseptor insulin yang tersedia dan aktif.
Sekresi katekolamin pada diabetisi sangat bervariasi tergantung kepada keadaan metabolic diabetisi, ada atau tidak adanya mikroangiopati dan neuropati. Olahraga pada diabetisi terkendali menyebabkan peningkatan sekresi katekolamin. Sedangkan pada diabetisi tak terkendali akan menyebabkan peningkatan norepineprin sebesar 800 kali. Akibat peningkatan ini, terjadi peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung, selanjutnya dapat terjadi mikroangiopati. Olahraga pada diabetisi tidak terkendali akan menyebabkan  pula terjadinya peningkatan kadar kortisol lebih cepat.
Ø  Manfaat olahraga bagi DM tipe 1
Peran olahraga teratur pada pengaturan kadar glukosa darah (glikemic control) pada DM tipe 1 masih kontroversial. Perbedaan dengan DM tipe 2 adalah DM tipe 1 mempunyai kadar insulin darah yang rendah akibat kurang atau tidak adanya produksi insulin oleh pancreas. DM tipe 1 mudah mengalami hipoglikemia selama dan segera sesudah olahraga sebab hepar gagal untuk melepaskan glukosa sesuai laju kebutuhan.
Pada DM tipe 1 derajat pengaturan kadar glukosa darah akibat olahraga sangat bervariasi artinya pada diabetisi tertentu olahraga akan menyebabkan terjadinya pengaturan kadar glukosa darah dengan baik sedangakan pada diabetisi lain pengaturan kadar glukosa darah tidak demikian, jadi efek olahraga pada DM tipe ini sangat individual. Meskipun didapatkan bahwa olahraga tidak begitu besar mempengaruhi glikemic control  pada banyak diabetisi tipe 1 tetapi didapatkan keuntungan lain. Seperti diketahui resiko penyakit jantung, gangguan pembuluh darah perifer dan saraf pada DM tipe 1 lebih tinggi. Dengan olahraga diharapkan dapat mengurangi resiko tersebut.
Olahraga pada DM tipe 1 dengan defisiensi insulin berat, akan menyebabkan gangguan metabolic makin jelek (terjadi hiperglikemia dan ketosis makin meningkat).
Ø  Manfaat olahraga bagi DM tipe 2
Pada DM tipe 2, olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Produksi insulin umumnya tidak terganggu terutama pada awal menderita penyakit ini. Masalah utama pada DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor terhadap insulin (resistensi insulin). Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat seperti insulin (insulin like effect). Permeabilitas membrane terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi. Pada saat olahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya sensitivitas insulin meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada diabetisi tipe 2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi setiap kali berolahraga, tidak merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama, oleh karena itu olahraga harus dilakukan terus-menerus dan teratur.
Olahraga pada DM tipe 2 selain bermanfaat sebagai glikemic control juga bermanfaat untuk menurunkan BB dan lemak tubuh.
Ø  Beberapa tip yang perlu diperhatikan diabetisi sebelum berolahraga
Setelah mengetahui berbagai perubahan fisiologis yang terjadi pada diabetisi pada saat berolahraga, manfaat, prinsip dan bahaya olahraga, ada beberapa tip yang dapat diberikan antara lain:
1.      Untuk menghindari hipoglikemi lakukan olahraga yang teratur, intake makanan dan cairan yang cukup serta  pemakaian obat-obatan yang sesuai.
2.      Bila kadar glukosa darah sebelum berolahraga 100-200 mg/dl dan akan berolahraga selama lebih dari 1 jam, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan kecil setiap 30-60 menit, makanan kecil 10-15 gr, dikonsumsi 15-30 menit sebelum olahraga.
3.      Bila kadar glukosa darah <100mg/dl, dibutuhkan makanan ekstra (25 gr), sedangkan bila kadar glukosa darah 100-250mg/dl, dan hanya akan berolahraga selama kurang lebih 1 jam, tidak diperlukan makanan ekstra.
4.      Akibat efek olahraga terhadap penggunaan insulin oleh sel tubuh, sebaiknya diabetisi tipe 1 mengurangi dosis insulin dan meningkatkan asupan makan mengawali olahraga.
5.      Olahraga harus segera dihentikan pada awal ada gejala hipoglikemia
6.      Kenakan sepatu yang sesuai, perhatikan perawatan dan kebersihan kaki.
7.      Lakukan pemeriksaan medis dan EKG kerja sebelum memulai berolahraga
8.      Program olahraga disusun sesuai beratnya penyakit dan tingkat jebugaran diabetisi.
9.      Rencanakan pemeriksaan berkala untuk evaluasi program latihan.
3)      Obat Berkhasiat Hipoglikemia
Sarana pengelolaan farmakologis diabetisi dapat berupa:
A.    Obat hipoglikemia oral
1.      Obat pemicu sekresi:
1.1  Sulfonilurea
1.2  Glinid
2.      Penambah sensitivitas terhadap insulin:
2.1  Biguanid
2.2  Tiazolidindion
3.      Penghambat glukosidase alfa
4.      Incretin mimetic, penghambat DPP-4
B.     Insulin
A.    Obat Hipoglikemik Oral
A.1. Pemicu sekresi insulin
A.1.1 Sulfoniluera
Obat golongan ini sudah dipakai pada pengelolaan diabetes sejak tahun 1957. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. Beberapa informasi baru mengenai obat golongan ini ada, terutama mengenai efek farmakologis pada pemakaian jangka lama dan pemakaiannya secara kombinasi dengan insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pancreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada DM tipe 1. Efek ekstra pancreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada, tetapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien yang insulinopenik.
Mekanisme kerja obat golongan Sulfoniluera:
1.      Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan (storeds insulin)
2.      Menurunkan ambang sekresi insulin
3.      Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya. Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi yang mungkin fatal. Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemi, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling pendek. Obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga lebih sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, gagal hati dan pasien dengan masukan makanan yang kurang, pemakai alcohol berlebihan ataupun jika dipakai bersama obat sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan lebih mungkin menyebabkan hipoglikemi yang berkepanjangan jika diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal atau gagal hati.
Efek akut obat golongan sulfonylurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunya masa paruh 4 jam pada pemakai akut, tetapi pada pemakai jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (bahkan sampai 20 jam pada pemakai kronik dengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan untuk memakai obat glibenklamid saja dalam sehari. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36% dan 21%. Kalau diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah.
Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. Fajans dan Brown mendapatkan pada pemantauan selama 8-31 tahun, 58% pasien memakai klorpropamid masih responsive menyekresi insulin. Pada pasien yang tidak responsive, keadaan tersebut terjadi setelah 4-25 tahun memakai obat. Diperhitungkan bahwa sekresi insulin pasien tersebut turun 1-4% per tahun. Jelas bahwa walaupun sedikit, sebagai pasien tentu akan mengalami kegagalan obat sekunder. Kelompok gagal sekunder sulfonylurea ini merupakan persoalan tersendiri dalam usaha mencapai kendali kadar glukosa yang sebaik-baiknya. Biasanya langkah lebih lanjut akan dikerjakan untuk mencapai pengendalian kadar glukosa yang baik adalah dengan obat kombinasi oral-oral atau oral-insulin.
Dosis maksimal obat golongan sulfonylurea tidak sama diberbagai tempat didunia. Untuk glipizid ada sekelompok pakar yang memakai dosis maksimal 40 mg. kelompok lain memakai 10 mg dengan alasan bahwa dosis yang lebih besar dari 10 mg tidak memberikan tambahan efek klinis yang menguntungkan.
Pada pemakai sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat pula diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna, segeralah periksa kadar glukosa darah dan atur kembali dosisnya.
Kombinasi sulfinilurea dengan insulin
Pemakaian kombinasi kedua obat inididasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah puasanya. Dengan memeberikan dosis insulin kerja sedang malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat menjadi lebih rendah. Selanjutnya kadar glukosa darah singa hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasanya.
Kombinasi sufonilurea dan insulin ini ternyata lebih baik dari pada insulin saja dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Selain itu pasien lebih bisa menerima cara pengelolaan kombinasi ini daripada pengelolaan dengan suntikan yang lebih sering.
A.1.2 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoate), dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
A.2. penambah sensitivitas terhadap insulin
A.2.1. Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Fenformin dan Buformin tidak dipakai lagi karena efek samping asidosis laktat. Pada metformin kemungkinan terjadi asidosis laktat sangat kecil (0,01-0,08 rerata 0,03 per 1000 pasien per tahun) dan mungkin terjadi pada pasien dengan predisposisi asidosis laktat seperti pasien  dengan gagal ginjal atau gagal hati.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga disangka menghambat absorbs glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. Setelah diberikan secara oral, metformin mencapai kadar puncak dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
Metformin menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan penurunan sampai dibawah normal. Karena itu tidak disebut sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh sulfonylureanya. Pada pemakaian tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20%. Kadar insulin plasma basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonylurea.
Kombinasi sulfonylurea dengan metformin tampak merupakan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling adiktif. Kombinasi ini dapat menurunkan kadar glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dosis maksimal dapat menurunkan kadar glukosa lebih banyak.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangan pada pasien gemuk yang kadar glukosa darahnya sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfinilurea lebih baik dari pada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik disbanding dengan insulin saja. Deksfenfluramin dapat diberikan pada pasien diabetes gemuk dan berpengaruh baik (adiktif) dengan metformin.
Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin. Dapat dikurangi dengan memberikan obat mulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan.
Disamping pengaruh pada kadar glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada PAI 1.
A.2.2 Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. Dapat diberikan secara oral. Golongan obat ini bekeeja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa di hati.
Golongan obat ini diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasarn kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula dipakai untuk mengatasi berbagai manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel beta pancreas.
A.3 penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa didalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemi postprandial.
Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemi dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping akibat maldigesti karbohidrat berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulen, dan diare. Faltulen merupakan efek yang tersering, terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini.
Penghambat glukosidase alfa dapat menghambat bioavailabilitas metformin jika diberikan pada orang normal.
A.4 golongan incretin mimetic dan inhibitor DPP-4
Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar daripada pemberian glukosa secara intravena. Perbedaan respon insulin ini disebut efek incretin . sebagai respon terhadap pemberian glukosa, usus akan memproduksi GLP-1 yang akan merangsang sel β pancreas untuk mempertahankan dan memproduksi insulin serta juga sel α untuk menyeimbangkan kadar glukosa agat tidak terlalu rendah. Saying efek hormone incretin ini pada keadaan normal hanya sebentar, karena diinaktifkan oleh Dipeptidyl Peptidase 4 menjadi bentuk inaktif.
Dengan memberikan incretin mimetic, efek incretin ini dapat diperpanjang, sehingga perangsang terhadap sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glucagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan.
Dengan DPP-4 inhibitor juga akan didapatkan hasil yang serupa, karena GLP-1 didarah dapat dipertahankan lebih lama.
B.     Insulin
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi sulfonylurea dan metformin, langkah berikut yang mungkin diberikan adalah insulin. Pengelolaan farmakologis memakai insulin dibicarakan dalam bab tersendiri. Disamping pemberian insulin secara konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin kerja cepat, insulin dapat pula diberikan dengan dosis terbagi insulin kerja menengah dua kali sehari dan kemudian diberikan campuran insulin kerja cepat di mana perlu sesuai dengan respon kadar glukosa darahnya. Umumnya dapat juga pasien langsung diberikan insulin campuran kerja cepat dan menengah dua kali sehari.
Kombinasi insulin kerja sedang yang diberikan malam hari sebelum tidur dengan sulfonylurea tampaknya memberikan hasil yang lebih baik daripada dengan insulin saja, baik satu kali ataupun dengan insulin campuran. Keuntungannya pasien tidak harus dirawat dan kepatuhan pasien tentu lebih besar.
4)      Penyuluhan
Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian intergral dari asuhan perawatan pasien diabetes.
Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian diabetes mellitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi kronik diabetes mellitus juga dapat dicegah dan pasien diabetes mellitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang didapatnya.


BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1  ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIPOGLIKEMI
A.    Pengkajian
A.1 Pengkajian primer :  
·         Airways : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputumatau benda asing yang menghalangi jalan nafas 
·         Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot bantu pernafasan.
·         Circulation : kaji nadi, capillary refill
A.2 Pengkajian sekunder
Pengkajian head to toe
a)      Data subyektif :
-          Riwayat penyakit dahulu
-          Riwayat penyakit sekarang
-          Status metabolik : intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori,infeksi atau penyakit-penyakit akut lain, stress yang berhubungandengan faktor-faktor psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lainyang mempengaruhi glikosa darah, penghentian insulin atau obat antihiperglikemik oral. 
b)       Data Obyektif
§  Aktivitas / Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus ototmenurun, gangguan istrahat/tidur 
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitasLetargi/disorientasi, koma
§  Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dankesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yanglama, takikardia.
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yangmenurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung
§  Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi 
Tanda : Ansietas, peka rangsang
§  Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasanyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeritekan abdomen, diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembangmenjadi oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemahdan menurun, hiperaktif (diare)
§  Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badanlebih dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensiabdomen, muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhanmetabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
§  Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesi, gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut),gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendondalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
§  Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat).
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati
§  Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan meningkat .
§  Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnyakekuatan umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)
§  Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi). Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
§  Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi.Penyembuhan yang lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan. Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diit, pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadapglukosa darah.
B.     Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1)      Kekurangan volume cairan b/d kehilangan gastric berlebihan, diare, muntah, masukan di batasi, kacau mental, diuresis osmotic, intake yang kurang,
Kemungkinan di buktikan      : peningkatan haluran urine,urine encer, kelemahan, haus, penurunan BB tiba-tiba, kulit membrane mukosa kering, turgor buruk, hipotensi, takikardia, perlambatan pengisian kapiler.
Hasil yang di harapkan dan Kriteria evaluasi : Mendemonstrasikan hidrasia dekuat di buktikan oleh tanda vital yang stabil, nadi perifer dapat di raba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluran urine tepat secara individu.
INTERVENSI:
1.      Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan lamanya/intensitas gejala seperti muntah, pengeluaran urine yang sangat berlebihan.
2.      Pantau tanda-tanda vital
3.      Frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot Bantu nafas dan adanya periode apnoe dan munculnya sianosis.
4.      Suhu, warna kulit/ kelembapannya.
5.      Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membrane mukosa
6.      Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine.
7.      Ukur berat badan setiap hari
8.      Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat di toleransi jantung.
9.      Tingkatkan lingkungan yang dapat menimbulkan rasa nyaman
10.  Catat hal-hal yang dapat di laporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung.
11.  Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat edema, peningkatan berat badan, nadi tidak teratur, dan adanya distensi pada vaskuler.
12.  Berikan therapy cairan sesuai indikasi (kolaborasi)
13.  Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan atau melalui oral sesuai indikasi.

2)      Nutrisi, perubahan, kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, anoreksia, mual, lambung penuh,nyeri abdomen, perubahan kesadaran.
Kemungkinan di buktikan : Maloporkan masukan makanan tak adekuat, kurang minat pada makanan, penurunan BB, lemah, kelelahan.tonus otot buruk, diare
Hasil yang di harapakan dan criteria evaluasi : Mencerna jumlah kaori/nutrient yang tepat, menunjukkan tingkat energi seperti biasanya.
INTERVENSI :
1.      Timbang BB setiap hari
2.       Tentukan program diit dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat di hasilkan pasien.
3.      Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdoment/perut kembung, mual, muntahan makanan yeng belum dapat di cerna.
4.      Beri diit TKTP/diit DM
5.      Identifikasi makanan yang dapat di sukai/di kehendaki termasuk kebutuhan etnik/cultural.
6.      Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan ini sesuai dengan indikasi.
7.       Observasi adanya tanda-tanda hiperglikemia
8.       Lakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan “finger stiek”
9.       Lakukan konsultasi dengan ahli diit.

3)      Infeksi, resiko tinggi terhadap sepsis b/d kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi pernafasan yang sebelumnya.
Hasil yang di harapkan dan criteria evaluasi : Mengidentivikasi intervensi untuk mencegah terjadinya infeksi, mendemontrasikan teknik, atau gaya hidup untuk mencegah infeksi.
INTERVENSI :
1.      Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan
2.      Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien.
3.      Pertahankan teknik aseptic pada prosedur invasive
4.      Pasang kateter/lakukan perawatan perineal dengan baik
5.      Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
6.      Awasi bunyi napas
7.      Berikan tindakan kenyamanan pada pasien
8.      Bantu pasien untuk melakukan oral hygine
9.      Anjurkan untuk makan dan minum yang adekuat

4)      Perubahan sensori perceptual b/d perubahan kimia endogen, ketidak seimbangan insulin  glukosa dan atau eletrolit.
Hasil yang di harapkan dan criteria evaluasi : Mempertahankan tingkat mental seperti biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori
INTERVENSI:
1.      Pantau tanda-tanda vital dan setatus mental
2.      Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhan
3.      Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak terganggu waktu istirahat pasien.
4.      Pelihara aktivitas pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuanya
5.      Lindungi pasien dari cidera (gunakan pengikat)ketika tingkat kesadaran terganggu.
6.      Evaluasi lapang pandang penglihatan sesuai dengan indikasi
7.      Berika tempat tidur yang lembut
8.      Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.

5)      Kelelahan b/d penurunan produksi energi metabolic, perubahan energi darah defisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi:status hipermetabolik/infeksi.
Kemungkinan di buktikan : Kurang energi yang berlebihan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas seperti biasanya, penurunan kinerja, kecendrungan terjadi kecelakaan.
Hasil yang di harapakan dan criteria evaluasi : Mengungkapkan peningkatan tingkat energi, menunjukkan penigkatan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan.
INTERVENSI:
1.      Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas
2.      Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup/tanpa gangguan.
3.      Pantau nadi/pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan  aktivitas.
4.      Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi,berpindah tempat dan sebagainya.
5.      Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat di toleransi.
C.    Evaluasi
Ø  Volume cairan dalam batas seimbang
Ø  Nutrisi terpenuhi
Ø   Infeksi (sepsis) tidak terjadi
Ø   Perubahan persepsi sensori tidak terjadi
Ø    Kelelahan tidak terjadi
Ø  Komplikasi tlebih lanjut lebih terjadi






3.2  ASUHAN KEPERAWATAN PADA DIABETES MELLITUS
A.    Pengkajian
a)      Data subyektif :
-          Riwayat Kesehatan Keluarga: Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien
-          Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya:
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
b)      Data obyektif
§  Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
§  Sirkulasi:
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
§  Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
§  Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
§  NeurosensorI
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
§  Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
§  Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
§  Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
§  Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
§  Integritas ego
Stess, ansietas
B.      Diagnosa dan Rencana Keperawatan
1.      Defisit volume cairan b.d diuresis osmotic akibat hiperglikemia
Batasan karakteristik:
a.       Peningkatan urin output
b.      Kelemahan, rasa haus, penurunan BB secara tiba-tiba
c.       Kulit dan membran mukosa kering, turgor kulit buruk.
d.      Hipotensi, takikardia, penurunan capillary refill.
Kriteria Hasil:
a.       Tanda vital stabil (nadi 80-88 x/menit, tekanan datrah 100-140/80-90 MmHg, suhu tubuh 36,5-37,40C, respiratory rate 20-22 x/menit)
b.      Nadi perifer teraba pada arteri radialis, arteri brakialis, arteri dorsalis pedis.
c.       Turgor kulit dan capillary refill baik dibuktikan dengan capillary refill kurang dari 2 detik
d.      Keluaran urine dalam kategori aman (lebih dari 100cc/hari sampai batas normal 1500cc-1700cc/hari)
e.       Kadar elektrolit urin dalam batas normal dengan nilai natrium 130-220meq/24 jam, kalium 25-100 meq/24 jam, klorida 120-250 meq/liter, magnesium 1,2-2,5 mg/dl

INTERVENSI
RASIONAL
1)           Pertahankan untuk memberikan cairan 1500-2500 ml atau dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan melalui oral sudah dapat diberikan
Mempertahankan komposisi cairan dalam tubuh, volume sirkulasi dan menghindari over load jantung 
2)           Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin
Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti dan membaiknya fungsi ginjal
3)           Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
Penurunan volume cairan darah (hipovolemi) akibat dieresis osmosis dapat dimanifestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi teraba lemah
4)           Pantau suhu, warna, turgor kulit, dan kelembabannya
Dehidrasi yang disertai demam akan teraba panas, kemerahan, dan kering di kulit. Sedangkan penurunan turgor kulit sebagai indikasi penurunan volume cairan pada sel
5)           Pantau nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membrane mukosa
Nadi yang lemah, pengisian kapiler yang lambat sebagai indikasi penurunan cairan dalam tubuh. Semakin lemah dan lambat dalam pengisian, semakin tinggi derajat kekurangan cairan

2.      Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak cukupan insulin
Batasan Karakteristik :
  1. Berat badan tidak normal (lebih rendah 10% dari berat badan ideal)
  2. Lingkar lengan < 10 cm
  3. Kelemahan, mudah lelah, tonus otot buruk
  4. Kadar gula darah > 150 mg/dl
Kriteria hasil:
  1. Pasien tidak lemah atau penurunan tingkat kelemahan
  2. Peningkatan berat badan atau berat badan ideal/normal
  3. Lingkar lengan meningkat atau mendekati 10 cm
  4. Nilai laboratorium hemoglobin untuk pria 13 -16 gr/dl, untuk wanita 12-14 gr/dl
  5. GDS 60-110 mg/.dl, kolesterol total 150-250 mg/dl, protein total 6-7 gr/dl

INTERVENSI
RASIONAL
1)            Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan teknik intravena secara intermitten atau secara kontinyu 
Insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbs dari jaringan sub kutan mungkin tidak menentu/sangat lambat 
2)            Berikan diet 60% karbohidrat, 20% protein, dan 20% lemak dan penataan makan dan pemberian makanan tambahan
Intake kompleks karbohidrat(jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum) berdampak pada penekanan kadar glukosa darah, kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolesterol, dan meningkatkan rasa kenyang
3)            Timbang berat badan atau ukur lingkar lengan setiap hari sesuai indikasi
Mengkaji indikasi terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan menentukan jumlah kalori yang harus dikonsumsi
4)            Libatkan keluarga pasien dalam memantau waktu makan, jumlah nutrisi
Meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel
5)            Pantau tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing)
Karena metabolism karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi
6)            Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, pH, dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan bahan keton.

3.      Resiko infeksi b.d kadar glukosa darah tinggi
Batasan karakteristik :
  1. Angka leukosit > 11.000 ul
  2. Suhu tubuh kadang mengalami periode naik dari 370C
  3. Akral teraba hangat/panas
  4. GDS > 150 gr/dl
  5. Glukosa urin positif
Kriteria hasil
  1. Tidak terdapat tanda-tanda peradangan dan infeksi seperti rubor, calor, dolor, tumor, fungtioleisa, dan angka leukosit dalam batas 5000-11000ul
  2. Suhu tubuh tidak tinggi (36,50C – 370C)
  3. Kadar GDS 60-100 mg/dl
  4. Glukosa urin negative

INTERVENSI
RASIONAL
1)            Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan teknik intravena secara intermitten atau secara kontinyu 
Insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel, pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan utama karena absorbs dari jaringan sub kutan mungkin tidak menentu/sangat lambat
2)            Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi insulin terkontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk sumber kalori. Peningkatan aseton, pH, dan HCO3 sebagai indikasi kelebihan bahan keton.
3)            Libatkan keluarga pasien dalam memantau waktu makan, jumlah nutrisi
Meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa dalam sel

4.      Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual (penglihatan, pendengaran) b.d perubahan kimia endogen (ketidakseimbangan glukosa-insulin dan elektrolit)
Batasan karakteristik :
  1. Pasien mengeluh penglihatannya kabur atau diplopia
  2. Visus dengan snellen card kurang dari 6 meter
  3. Pasien mengeluh kepalanya pusing
  4. Pasien mengeluh telinganya berdenging atau tidak jelas mendengar
  5. Pasien mengeluh letih, pelupa
  6. Nilai laboratorium natrium darah < 135 meq/dl
  7. Kalsium darah < 3,5 meq/l
  8. Klorida darah < 100 meq/l
Kriteria evaluasi
  1. Pasien tidak mengeluh penglihatannya kabur/diplopia lagi
  2. Visus 6/6
  3. Nilai laboratorium terkait eksitasi persarafan dalam batas : natrium 135-147 meq/l, kalsium darah 9-11 mg/dl, kalium darah 3,5-5,5 meq/l, klorida darah 100-106 meq/l

INTERVENSI
RASIONAL
1)               Pastikan akses penggunaan alat bantu sensori , seperti alat bantu dengar, dan kacamata
Meningkatkan  pendengaran dan penglihatan yang masih tersisa
2)               Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi dan secara bertahap dinaikkan derajatnya
Meningkatkan keamanan pasien untuk beraktivitas. Aktivitas dapat meningkatkan sirkulasi dan fungsi jantung
3)               Buat jadwal intervensi keperawatan bersama pasien agar tidak mengganggu waktu istirahat pasien
Meningkatkan tidur dapat menurunkan rasa letih dan dapat memperbaiki daya fikir
4)               Pantau tanda-tanda vital dan status mental
Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental
5)               Pantau pemasukan elektrolit melalui makanan maupun minuman
Meningkatkan eksitasi persarafan dan mencegah kelebihan elektrolit
6)               Pantau nilai laboratorium seperti glukosa darah, elektrolit, ureum kreatinin
Ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan fungsi mental

5.      Kelelahan b.d penurunan produksi energi metabolic
Batasan karakteristik :
  1. Pasien mengeluh badannya terasa lemah
  2. Skor kekuatan otot ekstremitas baik kanan dan kiri, atas maupun bawah kurang dari 4
  3. Ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan harian seperti mandi, gosok gigi, berjalan
  4. Pasien terlihat terhuyung atau mau jatuh saat berdiri
Kriteria hasil :
  1. Pasien mengatakan badannya tidak lemah lagi
  2. Skor kekuatan otot ekstremitas kanan, kiri, atas, serta bawah 5
  3. Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas seperti mampu berdiri dan berjalan

INTERVENSI
RASIONAL
1)               Buat jadwal perencanaan dengan pasien dan indikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan
Aktivitas akan lebih terarah dan menghindari kelelahan yang berlebihan
2)               Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/tanpa diganggu
Memberi kesempatan untuk mencukupkan produksi energi untuk aktivitas
3)               Tekankan pentingnya mempertahankan periksaan gula darah setiap hari
Membantu menciptakan gambaran nyata dari produksi energy metabolic dari unsur glukosa
4)               Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas
Mengindikasikan tingkat pemenuhan energi dengan tingkat aktivitas
5)               Pantau aktivitas pasien dan jumlah bahan energy yang masuk
Aktivitas yang tidak sesuai dengan jumlah energi yang mempu diproduksi pasien dapat meningkatkan kelelahan

6.      Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Batasan karakteristik :
a.       Mengakui perasaan putus asa
b.      Ketidak mampuan mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
c.       Ketidak mampuan membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Kriteria hasil
a.       Mengakui perasaan putus asa
b.      Mampu mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
c.       Mampu membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri

INTERVENSI
RASIONAL
1)                  Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah
2)                  Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga
Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping
3)                  Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi
4)                  Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri
Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.


7.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi
Batasan karakteristik :
a.       Ketidakmampuan mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
b.      Ketidakmampuan mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
c.       Tidak dapat  melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan
Kriteria hasil:
a.       Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
b.      Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
c.       Mampu melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.
INTERVENSI
RASIONAL
1)                  Ciptakan lingkungan saling percaya
Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar
2)                  Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya
Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup
3)                  Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/mentaati program
4)                  Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat
Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.

C.    EVALUASI
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diabetes mellitus adalah :
1)      Kondisi tubuh stabil, tanda-tanda vital, turgor kulit, normal.
2)       Berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
3)      Infeksi tidak terjadi
4)      Tidak terjadi perubahan sensori perseptual
5)      Rasa lelah berkurang
6)      Penurunan rasa lelah
7)      Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
8)      Tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta : EGC
Isselbacher, K,dkk, editor Asdie,H.(2000).Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:EGC
Kidd, Pamela S, Patty Ann Sturt dan Julia Fultz.(2010).Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta:EGC
Lippincot williams and Wilkins.(2011).Nursing the series for clinical excellence, Memahami berbagai macam penyakit. Jakarta: PT Indeks
Mansjoer,Arif dkk.(2007).Kapita Selecta Kedokteran jilid 1.jakarta: Media Aesculapius FKUI
Setiadi.(2007).Anatomi dan Fisiologi Manusia.Yokyakarta:Graha Ilmu
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare(2002).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soegondo,Sidartawan dkk.(2011).Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpada.Jakarta: Balai Penerbit FKUI