BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Beberapa kelainan
mempengaruhi sistem bilier dan mempengaruhi drainase empedu yang normal kedalam
duodenum. Penyakit kandung empedu merupakan kelainan pada sisitem bilier,
kelainan ini mencakup karsinoma yang menyumbat percabangan bilier. Kolesistitis
adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung
empedu menyebabkan nyeri tekan, dan kekakuan pada abdomen kuadran kanan atas
yang disertai dengan gejala mual serta muntah. Colesistitis adalah reaklsi inflamasi
dinding kandung empedu yang disertai dengan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan panas (Syaifoellah Noer,1999). Pada kelainan bilier tidak semua kejadian
infeksi pada kandung empedu (kolesistitis) berhubungan dengan batu empedu
(kolelitiasis) namun lebih dari 90% penderita kolesistitis akut menderita batu
empedu.
Epidemiologi batu empedu
di Amerika Serikat cukup tinggi sekitar 10-20% orang dewasa (± 20 juta
orang). Setiap tahunnya bertambah sekitar 1–3 % kasus baru dan sekitar
1–3% nya dari penderita kandung empedu menimbulkan komplikasi . Kira –
kira 500.000 orang yang menderita simptom batu empedu atau batu empedu dengan
komplikasi dilakukan kolesistektomi. Batu empedu bertanggung jawab pada
10.000 kematian per tahun. Di Amerika Serikat, ditemukan pula
sekitar 2000–3000 kematian disebabkan oleh kanker kandung empedu dan sekitar
80% dari kejadian penyakit batu empedu disertai dengan kolesistitis kronik.
Sedangkan, epidemiologi di Indonesia belum dapat diketahui. Pada kelainan bilier
tidak semua kejadian infeksi pada kandung empedu (kolesistitis) berhubungan
dengan batu empedu (kolelitiasis) namun lebih dari 90% penderita kolesistitis
akut menderita batu empedu. Akan tetapi, kebanyakan diantara 15 juta orang
Amerika yang memiliki batu empedu tidak merasa nyeri dan tidak menyadari adanya
batu tersebut. Batu empedu tidak lazim di jumpai pada anak-anak dan dewasa muda
tetapi insidennya semakin sering pada individu berusia diatas 40 tahun.
Umumnya kolesistitis
sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis dapat terjadi sebagai
akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang menjadi predisposisi
terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya ketidakseimbangan
komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau asam empedu,
sehingga menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia.
Kolesistektomi
adalah tindakan pilihan untuk pasien dengan batu empedu multipel/besar karena
berulangnya pembentukan batu secara simtomatologi akut atau mencegah
berulangnya pembentukan batu. Pendekatan lain yaitu dengan kolesistektomi dini.
Keadaan umum dperbaiki dan sepsis diatasi dengan pemberian antibiotik seperti
yang dilakukan pada pengobatan konservatif, sambil memastikan diagnosis
memperbaiki keadaan umum, dan mengatasi penyakit penyerta seperti pankreatitis.
Setelah 24-48 jam, keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi telah dapat
diatasi. Tindak bedah dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan
ini memberikan keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sampai
5-7 hari, dan mempersingkat masa sakit sekitar 30 hari. (Sjamsuhidajat Jong,
2003 : 579).
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana
konsep Kolisistitis dan asuhan keperawatan pada kolisistitis?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan umum
Mengidentifikasi
konsep kolisistitis dan asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada kasus
kolisistitis
1.3.2
Tujuan kusus
1. Menjelaskan
tentang anatomi fisiologi kandung empedu
2. Menjelaskan
tentang konsep kolisistitis
3. Menjelaskan
asuhan keperawatan pada kasus kolisistitis
1.4 Manfaat
1.4.1
Mahasiswa memahami konsep dan proses asuhan
keperawatan pada klien dengan kolisistitis sehingga menunjang pembelajaran mata
kuliah.
1.4.2
Mahasiswa mengetahui proses asuhan keperawatan yang
benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 HATI
(HEPAR)
2.1.1 Anatomi
Hati (Hepar)
Hati
adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang
lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan
atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat
kompleks. Batas atas hati sejajar dengan ruang intercostal V kanan dan batas
bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior
hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system
porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung
arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak di
depan vena kava dan dibalik kandung empedu.
Permukaan
anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum
falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali
lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di
lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah
yang disebut sebagai lobus kuadatus yang biasanya tertutup oleh vena kava
inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8
segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada
dasarnya, garis Cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung
empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah
dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi.
Secara
mikroskopis didalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus
terbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun
radial mengelilingi vena sentralis.
2.1.2 Pembuluh
Darah pada Hati
Hati
mempunyai dua jenis pembuluh darah, yaitu:
a. Arteri
Hepatika, yang keluar dari aorta dan memberi 80% darah pada hati, darah ini
mempunyai kejenuhan 95-100% masuk ke hati akan membentuk jaringan kapiler
setelah bertemu dengan kapiler vena, akhirnya keluar sebagai vena hepatica.
b. Vena
Porta, yang terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan
20% darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah
diambil oleh limfe dan usus, guna darah ini membawa zat makanan ke hati yang
telah diabsorbi oleh mukosa dan usus halus. Darah berasal dari vena porta
bersentuhan erat dengan sel hati dan setiap lobules disaluri oleh sebuah
pembuluh sinusoid darah atau kapiler hepatica. Pembuluh darah halus berjalan
diantara lobules hati disebut Vena interlobular.
2.1.3 Fungsi
Hati
a. Sekresi
-
Hati memproduksi empedu dibentuk dalam
system retikulo endothelium yang dialirkan ke empedu yang berperan dalam
emulsifikasi dan absorbs lemak.
-
Menghasilkan enzim glikogenik yang
mengubah glukosa menjadi glikogen.
b. Metabolisme
Ø Metabolisme
karbohidrat
Pemeliharaan
kadar glukosa darah pada tingkat yang normal merupakan salah satu fungsi hati
yang paling penting. Dalam keadaan postprandial, kadar glukosa darah tidak
dibiarkan untuk naik cukup tinggi melalui reaksi yang diperantarai –insulin
berikut ini:
-
Sintesa glikogen (glikogenesis) dalam
hati di samping dalam otot skeletal.
-
Peningkatan pemecahan glukosa lewat
reaksi glikolisis dan lintasan asam sitrat untuk menghasilkan energy dalam hati
dan otot skeletal.
-
Sintesis asam lemak dalam hati dan
penyimpangan dalam jaringan adipose
-
Sintesis asam-asam amino nonesensial
dalam hati yang kemudian disatukan ke dalam protein otot.
Ø Metabolisme
protein
Hati
merupakan tempat sintesis protein yang penting
disamping juga menjadi tempat penguraian protein. Hati mensintesis
protein bukan hanya bagi kebutuhannya sendiri tetapi hati juga mensintesis
sejumlah “protein ekspor” seperti albumin, factor pembekuan darah dan protein
pembawa untuk transportasi subtansi tertentu seperti misalnya seruloplasma
(untuk tembaga), transferrin (untuk besi), hepatoglobin (untuk hemoglobin plasma),
prealbumin (untuk tiroksin, vitamin A). Transkortin, thyroxine-binding globulin
dan protein pengikat-hormon gonad juga disintesis di dalam hati.
Ø Metabolisme
Amonia
Hati
merupakan tempat utama deaminasi oksidatif asam-asam amino yang menghasilkan
ammonia dan asam keton. Ammonia yang dilepaskan merupakan produk yang sangat
toksik tetapi segera akan diubah menjadi produk yang relative kurang berbahaya
yaitu urea (ureum).
Ø Metabolisme
lipid
Hati
merupakan tempat utama reaksi anabolic, katabolic dan transportasi lemak/lipid.
Lemak makanan terutama terdiri dari trigliserid dengan asam lemak rantai
panjang disamping sedikit ester kolesterol dan fosfolipid. Trigliserid ini
dihidrolisis di dalam intestinum, disatukan ke dalam kilomikron oleh sel-sel
epitel intestinal dan dibawa ke dalam saluran limfatik.
c. Penyimpanan
-
Hati menyimpan glikogen, lemak, vitamin
A,D,E,K dan zat besi yang disimpan sebagai ferritin, yaitu suatu protein yang
mengandung zat besi dan dapat dilepaskan bila zat besi diperlukan.
-
Mengubah zat makanan yang diabsorbsi
dari usus dan disimpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkannya sesuai
dengan pemakaiannya dalam jaringan.
d. Detoksifikasi
Produk
limba endogen yang larut air dan obat-obatan yang diberikan untuk terapi dapat
diekskresikan dengan mudah oleh ginjal. Namun demikian, produk limbah yang
larut lemak, hormone dan obat cenderung menumpuk di dalam tubuh kecuali jika
substansi tersebut dimetabolisir menjadi produk yang tidak begitu toksik dan
atau diubah menjadi derivate larut air yang dapat diekskresikan ka dalam getah
empedu atau urin. Mekanisme detoksifikasi pada hati dapat dibagi menjadi dua
fase:
·
Reaksi fase I melibatkan modifikasi
kimia substansi tersebut lewat reaksi oksidasi, reduksi, hidroksilasi,
deaminasi atau metilasi dan lain-lain. Reaksi semacam ini biasanya membuat
substansi ini tidak aktif.
·
Reaksi fase II mengubah substansi tak
aktif yang larut lemak menjadi derivatnya yang larut air (glukoronid, sulfat,
asetil, taurin atau glisin ) dan dapat diekskresikan ke dalam getah empedu atau
urin.
e. Membentuk
dan menghancurkan sel-sel darah merah selama 6 bulan masa kehidupan fetus yang
kemudian diambil alih oleh sumsum tulang belakang.
f. Fungsi
imunologi
Hati
merupakan komponen sentral system imun. Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari
massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang
sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada limposit.
2.1.4 Regenerasi
Hati
Berbeda
dengan organ yang lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai kemampuan untuk
beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah terbatas,
maka sekelompok sel pluripotensial oval yang berasal dari duktulus-duktulus
empedu akan berproliferasi sehingga terbentuk kembali sel-sel hepatosit dan
sel-sel bilier yang tetap mempunyai kemampuan untuk beregenerasi.
Kemampuan hati untuk beregenerasi
setelah perlukaan jaringan atau reseksi bedah sangat mencengangkan. Dari
penelitian dari model binatang ditemukan
bahwa hepatosit tunggal dari tikus dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali,
atau memproduksi jumlah sel yang mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati
tikus. Dengan demikian dapat dikatakan sangatlah memungkinkan untuk melakukan
hepatektomi hingga 2/3 dari seluruh hati.
2.2 KANDUNG
EMPEDU
2.2.1 Anatomi
Kandung Empedu
Sebuah
kantung berbentuk terang dan merupakan membrane berotot, letaknya dalam sebuah
lobus disebelah permukaan bawah hati sampai pinggir depannya, panjangnya 8-12
cm berisi 60 cm2 . Empedu yang dihasilkan hepatosit akan diekskresikan
ke dalam kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu
yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang
lebih besar lagi. Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang
secara bertahap bila saluran empedu membesar.
Saluran
empedu intrahepatic secara perlahan menyatu membentuk saluran yang lebih besar
yang dapat menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati
kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan
posterior yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus kanan. Pada
beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1 cm di luar hati. Duktus ini
kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus
kiri) menjadi duktus hepatikus komunis.
Setelah
penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus
menjadi duktus koledokus. Pada beberapa keadaan, dinding duktus koledokus
menjadi besar dan lumennya melebar sampai mencapai ampula. Biasanya panjang duktus
koledokus sekitar 7 cm dengan diameter berkisar antara 4-12 mm. kandung empedu
menerima suplai darah terbesar dari jalinan pembuluh darah cabang arteri
hepatica kanan. Kandung empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu dengan
ukuran panjang 8-10 cm dan terdiri atas fundus, korpus dan kolum. Lapisan
mukosanya membentuk cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut kantung
Hartman, yang bisa menjadi tempat tertimbunnya batu empedu.
2.2.2 Komposisi
Getah Empedu
Getah
empedu adalah suatu cairan yang disekresikan setiap hari oleh sel hati yang
dihasilkan setiap hari 500-1000cc, sekresinya berjalan terus-menerus, jumlah
produksi meningkat sewaktu mencerna lemak. Empedu berwarna kuning kehijauan
yang terdiri dari 97% air,pigmen empedu dan garam-garam empedu.
a) Pigmen
empedu, terdiri dari biliverdin. Pigmen ini merupakan hasil penguraian
hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah terdisintegrasi. Pigmen utamnya
adalah bilirubin yang memberikan warna kuning pada urin dan feses. Warna
kekuningan pada jaringan (jaundice) merupakan akibat dari peningkatan kadar
bilirubin darah dan ini merupakan indikasi kerusakan fungsi hati, peningkatan
destruksi sel darah merah, atau obstruksi sel darah merah, atau obstruksi
duktus empedu oleh batu empedu.
b) Garam-garam
empedu, yang terbentuk dari asam empedu yang berikatan dengan kolesterol dan
asam amino. Setelah diekskresi ke dalam usus garam tersebut direabsorbsi dari
ileum ke bagian bawah kembali ke hati dan didaur ulang kembali, peristiwa ini
disebut sebagai sirkulasi enterohepatika garam empedu. Fungsi garam empedu
dalam usus halus adalah emulsifikasi lemak, absorbsi lemak, pengeluaran
kolesterol dari tubuh.
2.2.3 Sekresi
Empedu
Kandung
empedu mempunyai peranan penting dalam pencernan lemak. Kandung empedu
menampung ± 50 ml empedu yang dapat dibuat kembali dalam merespon pencernaan
makanan. Empedu berperan dalam membantu pencernaan dan absorbsi lemak, ekskresi
metabolit hati, dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin dan logam berat.
Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan
kolangiosit yang terletak sepanjang duktus empedu. Epitel bilier berperan dalam
menghasilkan 40% dari 600 ml produksi empedu setiap hati.
Asam-asam
empedu dibentuk dari kolesterol didalam hepatosit, diperbanyak pada struktur
cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan
glisin, taurin dan sulfat. Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen
dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pancreas dan penyerapan lemak
intraluminal. Konjugasi garam-garam empedu selanjutnya direabsorbsi oleh
transport aktif spesifik dalam ileum terminalis, walaupun sekitar 20% empedu
intestinal dikonjugasi oleh bakteri ileum. Empedu yang tidak direabsorbsi akan
memetabolisme bakteri dalam kolon dan ± 50% akan direabsorbi kembali.
Bilirubin,
suatu pigmen kuning dengan sebuah strutur tetrapinol yang tidak larut dalam air
berasal dari sel-sel darah yang telah hancur (75%), katabolisme protein-protein
heme (22%) dan inaktivasi eritropoiesis sumsum tulang (3%). Bilirubin yang
tidak terkonjugasi akan ditransport ke dalam sirkulasi sebagai sebuah kompleks
dengan albumin, walaupun sejumlah kecil dialirkan kedalam sirkulasi secara
terpisah. Bilirubin larut lemak akan diubah menjadi larut air oleh hati melalui
bebrapa langkah yang terdiri atas fase pengambilan spesifik, konjugasi dan
ekskresi.
Sebenarnya
bilirubin terkonjugasi tidak direabsorbsi dari duktus biliaris atau usus
melainkan pada kolon. Kolon dapat mengkonjugasi bilirubin dan mengkonversi
menjadi tetrapirol larut air yang dikenal sebagai urobilinogen. Kira-kira
setengah dari urobilonogen akan direabsorbsi dan diekskresi oleh ginjal dan
dikeluarkan bersama feses sebagai sterkobilin.
2.2.4 Kontrol
Sekresi Aliran Empedu
Kandung
empedu, saluran empedu ekstrahepatik dan spinkter Oddi merupakan struktur yang
berperan penting dalam pergerakan dan pengaliran empedu. Hormone Kolesistokinin
(CCK) merupakan stimulus fisiologis yang paling potensial bagi kontraksi
kandung empedu disamping adanya komponen saraf otonom dan syaraf parasimpatis
lainnya yang dapat menyebabkan relaksasi kandung empedu. Kadar CCK dapat
meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan
karbohidrat. Efek utama hepatobilier pada hormone sekretin adalah meningkatkan
sekresi cairan dan elektrolit oleh epitelium biliaris.
2.2.5 Peranan
Traktus Biliaris
Sesaat
setelah empedu diekskresikan oleh hepatosit, empedu tersebut akan mengalami
modifikasi pada saat melalui saluran biliaris. Modifikasi tersebut meliputi
penarikan air melaui proses osmosis para seluler ke dalam empedu, pemisahan
glutation menjadi asam amino yang dapat diabsorbsi kembali (seperti glukosa dan
asam organic), dan sekresi bikarbonat dan ion-ion klorida secara aktif ke dalam
empedu oleh mekanisme yang bergantung pada regulator transmembran fibrosis sistik
(RTFC).
2.3 KOLESISTITIS
2.3.1
PENGERTIAN

A. Kolesititis
Akut
a) Pengertian
Radang
kandung empedu (kolisistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.
Hingga kini pathogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum
jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolisistitis dan batu empedu (kolelitiasis) di Negara kita
relative rendah dibandingkan negara-negara barat.
b) Klasifikasi
1)
Kolesistitis
Kalkulosa Akut
Merupakan peradangan
akut empedu yang mengandung batu dan dipicu oleh obstruksi leher kandung empedu
atau duktus sistikus. Penyakit ini adalah penyulit utama tersering pada batu
empedu dan penyebab tersering dilakukannya kolesistektomi darurat. Gejala
mungkin timbul sangat mendadak dan merupakan suatu kedaruratan bedah akut.
Dipihak lain gejala mungkin ringan dan
mereda tanpa intervensi medis.
Kolesistitis Kalkulosa
Akut ini mungkin tidak menimbulkan atau memperlihatkan gejala hebat, nyeri
abdomen atas yang hebat dan menetap dan sering menyebar ke bahu kanan.
Kadang-kadang jika batu terletak di leher kandung empedu atau di duktus, nyeri
bersifat kolik. Demam, mual, leukositosis dan lemah merupakan gejala klasik,
adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi mengisyaratkan obstruksi duktus biliaris
komunis. Region subkosta kanan sangat nyeri tekan dan kaku, akibat spasme otot
abdomen, kadang-kadang dapat diraba kandung empedu yang membesar dan nyeri
tekan.
Kolesistitis kalkulosa
akut pada awalnya adalah akibat iritasi kimiawi dan peradangan dinding kandung
empedu dalam kaitannya dengan hambatan aliran keluar empedu. Fosfolipase yang
berasal dari mukosa menghidrolisis lestin empedu menjadi lisolestin, yang
bersifat toksik bagi mukosa. Lapisan mukosa glikoprotein yang secara normal
bersifat protektif rusak, sehingga epitel mukosa terpajan langsung ke efek
deterjen garam empedu. Prostaglandin yang dibebaskan di dalam dinding kandung
empedu yang teregang ikut berperan dalam peradangan mukosa dan mural.
Peregangan dan peningkatan tekanan intralumen juga dapat mengganggu aliran
darah ke mukosa. Proses ini terjadi tanpa ada infeksi bakteri, baru setelah
proses berlangsung cukup lama terjadi kontaminasi oleh bakteri.
2)
Kolesistitis
Akalkulosa Akut
Merupakan
inflamasi kandung empedu akut tanpa adanya obstruksi oleh batu empedu.
Kolesistitis akalkulus timbul sesudah tindakan bedah mayor, trauma berat atau
luka bakar, sepsis. Faktor-faktor lain yang berkaitan dengan tipe kolesistitis
ini mencakup obstreksi duktus sistikus akibat torsi, infeksi primer bakterial
pada kandung empedu dan tranfusi darah yang dilakukan berkali-kali.
Kolesistitis akalkulus diperkirakan terjadi akibat perubahan cairan dan
elektrolit atau dehidrasi serta aliran
darah regional dalam sirkulasi visceral, stasis dan pengendapan dalam kandung
empedu, gangguan pembuluh darah dan akhinya kontaminasi bakteri. Kejadiannya
yang menyertai tindakan bedah mayor atau trauma mempersulit penegakan diagnosis
keadaan ini
c) Etiologi
dan Patogenesis
Factor yang
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis cairan empedu,
infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus
sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperkirakan
banyak factor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolestin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Kolesistitis akut
akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi
parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran
empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid
dan diabetes mellitus.
d) Gejala
Klinis
Keluhan yang agak khas
untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan
suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau scapula kanan
dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan
sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
dengan gangrene atau perforasi kandung empedu.
Pada kepustakaan barat
sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan
berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana LA,dkk, hal ini sering tidak
sesuai untuk pasien-pasien di negara kita. Pada pemeriksaan fisik teraba masa
kandung emepedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis local (tanda
Murphy).
Icterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatic. Perubahan warna
urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine
berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan
tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay-colored”. Defisiensi
Vitamin. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu obstruksi vitamin A, D, E,
dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala
defisiensi vitamin-vitamin jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi
vitamin K dapat menganggu pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu
terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan
mengalirkan isinya keluar dalam proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang
relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan
ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata.
e) Prognosis
Penyembuhan spontan
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh
dengan bati dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis
rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi
gangrene, empyema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang
adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi
pasca bedah.
f) Diagnosis
Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum
transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat
disertai suhu tinggi dan mengigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empyema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan.
Foto polos abdomen
tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien
kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopatik) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan
gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat
untuk kolesistitis akut.
Pemeriksaan
ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat
untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan
saluran empedu ekstra hepatic. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90-95%. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radiografi HIDA atau 99 n
Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi
teknik ini tidak mudah. Terlihat gambaran duktus koledokus oral atau
scintigrafi sangat menyokong
kolesistitis akut.
Pemeriksaan CT scan
abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses
perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan
USG. Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan
atas yang tiba-tiba perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf
spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti apendiks yang retrosekal,
sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut dan infark miokard.
g) Pengobatan
Pengobatan umum
termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic
pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis,
kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazole
cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman umum yang terdapat pada kolesistitis
akut seperti E.coli, Strep, Faecalis dan
Klebsiella.
Saat kapan dilaksanakan
tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan
secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan
keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan
bedah. Ahli bedah yang pro operasi ini menyatakan, timbulnya gangrene dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di
rumah sakit lebih singkat dan biaya dapat di tekan. Sementara yang tidak setuju
menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga
peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut disekitar
duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan bedah
kolesistektomi laparoskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini sudah
sering dilakukan di pusat bedah-bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini
hamper mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi
Konversi
ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A dkk, sebesar 1,9%
kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang
disebabkan perlengketan yang luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu.
Komplikasi yang sering dijumpai pada
tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu.
Menurut kebanyak ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun
invasive mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi,
menurunkan angka kematian, serta kosmetik lebih baik, memperpendek lama
perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien.
B. Kolesistitis
Kronik
Kolesistitis kronik
lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis
dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan (Pridady,2007). Kolesistitis
kronik adalah suatu keadaan dimana mukosa dan jaringan otot-otot polos kandung
empedu diganti dengan jaringan ikat, sehingga kemampuan untuk memekatkan empedu hilang (arif Mansjoer,2009).
Kolesistitis kronik mungkin merupakan kelanjutan dari kolesistitis akut yang
berulang, tetapi pada umumnya keadaan ini timbul tanpa riwayat serangan akut.
Seperti kolesistitis akut, kolesistitis kronik hamper selalu berkaitan dengan batu
empedu. Namun batu empedu tampaknya tidak berperan langsung dalam inisiasi
peradangan atau timbulnya nyeri. Supersaturasi empedu mempermudah terjadinya
peradangan kronik dan pada sebagian besar kasus pembentukan batu. Bagaimanapun,
gejala kolesistitis kronik mirip dengan gejala bentuk akut dan berkisar dari
kolik biliaris hingga nyeri kuadran kanan atas indolen dan distress
epigastrium.
Perubahan morfologik
pada kolesistitis kronik sangat bervariasi dan kadang-kadang minimal. Keberadaa
batu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya peradangan akut sering dianggap
sudah memadai untuk menegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin mengalami
kontraksi, berukuran normal, atau membesar. Ulserasi mukosa jarang terjadi,
submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya
kolesistitis akut, limfosit didalam lumen adalah satu-satunya tanda peradangan.
a) Gejala
Klinis
Gambaran klinis mirip
keadaan akut, yaitu nyeri perut kanan atas, kolik bilier, atau hanya rasa tidak
enak di epigastrium, terdapat demam ringan dan hiperbilirubinemia ringan (arir
Mansjoer,2009). Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh
karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa
penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak
tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu
empedu di keluarga, icterus dan kolik berulang, nyeri local di daerah kandung
empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.
Diagnosis banding
intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastik, karsinoma kolon kanan,
pankreatitis kronik atau kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan
sebelum diputuskan untuk melaksanakan kolesistektomi.
b) Diagnosis
Pemeriksaan
kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat memperlihatkan
kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic
retrograde choledochopancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk
memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus.
c) Penatalaksanaan
Pada sebagian besar
pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu empedu yang simtomatik,
dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan ini agak sulit untuk pasien dengan
keluhan minimal atau disertai penyakit lain untuk mempertinggi resiko operasi.
2.3.2
KOMPLIKASI
Komplikasi kantung
empedu (empiema,
hidrops mukokel,
atau gangrene); gangren bisa
menyebabkan
perforasi, sehingga
menyebabkan
peritonitis,
pembentukan fistula,
pancreatitis,
empedu
seperti
air
lemon dan
kantung empedu porselen
2.3.3
PATOFISIOLOGI

BAB
3
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1
Anamnesa
A.
Identitas Klien : Nama, tempat tanggal
lahir, jenis kelamin,umur, pekerjaan, nama ayah/ ibu, pekerjaan, alamat, agama,
suku bangsa, pendidikan terakhir.
B.
Riwayat Kesehatan
1)
Keluhan utama : sakit
perut sisi kanan atas, nyeri yang berpindah-pindah menjalar kadang sampai pundak,
mual, muntah, perut terasa kembung, kulit berwarna kuning (apabila batu empedu
menghalangi saluran empedu), suhu badan tinggi (demam).
2)
Riwayat kesehatan sekarang
: Dapatkan data
mengenai kronologis kejadian sehingga
muncul keluhan utama
yang
menyebabkan
pasien
datang
ke tempat pelayanan
kesehatan.
·
Bagaimana gejalanya? (mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus,
serangan hilang timbul, berubah-ubah dalam waktu tertentu).
·
Tempat dan sifat gejala (menjalar, menyebar, berpindah-pindah, atau menetap).
·
Berat ringannya keluhan dan perkembangannya (menetap, cenderung bertambah, atau berkurang).
·
Berapa
lama
keluhan berlangsung?
·
Kapan dimulainya?
·
Upaya apa
saja
yang telah dilakukan untuk meringankan.
3)
Riwayat kesehatan masa
lalu
: Dapatkan data mengenai
·
Riwayat pemakaian
obat-obatan : jenis
obat,
dosis
yang
dikonsumsi, cara pemakaian dll
·
Pengalaman masa lalu tentang kesehatan : riwayat sakit dengan gejala yang sama, pengalaman perawatan di rumah sakit, pengalaman
tindakan bedah (operasi), pengalaman kecelakaan, dll
4)
Riwayat kesehatan keluarga : Dapatkan
data mengenai
penyakit menular atau menurun yang dimiliki keluarga. Seperti TBC, Diabetes, Hipertensi dll.
·
Apakah terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama
seperti pasien?
5)
Riwayat kesehatan lingkungan : Dapatkan data mengenai lingkungan rumah tempat tinggal pasien sekarang.
·
Apakah
sedang
terjadi wabah penyakit
di lingkungan
rumah
tempat tinggal pasien?
·
Apakah merupakan daerah industri (rawan polusi)?
·
Lingkungan yang kurang sehat?
·
Kondisi rumah(ventilasi, jendela, kamar mandi/MCK) yang memadai?
6)
Riwayat psikososial
Dapatkan data mengenai masalah-masalah psikologis yang dialami pasien.
Seperti
beban pekerjaan,
hubungan
dengan lingkungan sosial (keluarga dan
masyarakat), segalah hal yang menyebabkan stress psikis
pada pasien yang berhubungan dengan kontak sosial
3.1.2
Data Dasar
§ Aktivitas
dan istirahat:
-
Subyektif : kelemahan
-
Obyektif : kelelahan, gelisah
§ Sirkulasi
:
-
Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
§ Eliminasi
:
-
Subektif : Perubahan pada warna urine
dan feces
-
Obyektif : Distensi abdomen, teraba
massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat
§ Makan
/ minum (cairan) :
-
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit,
tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas, regurgitasi ulang,
eruption, flatunasi, rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn), ada
peristaltik, kembung dan dyspepsia.
-
Obyektif : Kegemukan, kehilangan berat
badan (kurus).
§ Nyeri/
Kenyamanan :
-
Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke
punggung sampai ke bahu, nyeri apigastrium setelah makan, nyeri tiba-tiba dan
mencapai puncak setelah 30 menit.
-
Obyektif : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku biala kuadran kanan atas
ditekan; tanda murphy positif
§ Respirasi
:
-
Obyektif : Pernafasan panjang,
pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
§ Keamanan
:
-
Obyektif : demam menggigil, ikterik,
kulit kering dan gatal (pruritus) , cenderung perdarahan (defisiensi Vit K ).
3.1.3
Pemeriksaan Fisik
1)
Kaji keadaan umum pasien: Meliputi kesan secara umum pada keadaan sakit termasuk ekspresi
wajah (cemberut, grimace, lemas) dan posisi pasien. Kesadaran yang meliputi
penilaian secara kualitatif (komposmentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma,
koma) dapat juga menggunakan GCS. Lihat juga keadaan status gizi secara umum
(kurus, ideal, kelebihan berat badan)
2)
Kaji kondisi fisik pasien: pemeriksaan tanda-tanda
vital, adanya kelemahan hingga sangat lemah, takikardi, diaforesis, wajah pucat
dan kulit berwarna kuning, perubahan warna urin dan feses.
3)
Kaji adanya nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar
ke punggung atau bahu kanan, mual dan muntah, gelisah dan kelelahan. Palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing untuk
memeriksa ada atau tidaknya pembesaran pada organ tersebut
4)
Integumen : periksa
ada tidaknya oedem, sianosis,icterus, pucat, pemerahan luka pembedahan pada
abdomen sebelah kanan atas.
5)
Kaji perubahan gizi-metabolik: penurunan berat badan,
anoreksia, intoleransi lemak, mual dan muntah, dispepsia, menggigil,
demam, takikardi, takipnea, terabanya kandung empedu.
6)
Ekstremitas : Apakah ada keterbatasan
dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau
kekakuan
3.1.4
Pemeriksaan Penunjang
§ Darah lengkap:
-
Leukositosis sedang (akut), bilirubin
dan amilase serum: meningkat.
-
Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT);
LDH; agak meningkat alkaline fosfat dan 5-nukletiase;
Di tandai obstruksi bilier.
-
Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi
aliran empedu dalam usus menurunkan absorbsi
vitamin K.
§ Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus
empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal).
§ Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan
bilier dengan kanualas duktus koledukus melalui deudenum.
§ Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan
flouroskopi anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ekterik
ada ).
§ Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem
empedu. Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah
untuk menelan zat lewat mulut. CT Scan: Dapat menyatakan kista kandung empedu,
dilatasi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi/non obstruksi.
§ Scan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier.
§ Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi)
batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
§ Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menunjukkan penyebaran nyeri.
3.2
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1) Nyeri b/d proses inflamasi kandung
empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan/nekrosis
2) Resiko tinggi kekurangan volume
cairan b/d dispensi dan hipermortilitas gaster, gangguan proses pembekuan darah,
peningkatan metabolisme
3) Resiko tinggi gangguan pemenuhan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual, muntah, gangguan pencernaan
lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat
3.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA
HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Nyeri
b/d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan/nekrosis
|
Tujuan:
Setelah dilakukan
perawatan selama… , klien melaporkan nyeri
berkurang atau hilang. Klien dapat
mengkompensasi
nyeri dengan baik
Kriteria
Hasil:
- Skala
nyeri 0-4
- Grimace (-)
- Gerakan melokalisir nyeri (-)
- Gerakan bertahan (defensife) pada daerah nyeri (-)
- Klien tenang
|
1. Pantau tingkat dan intensitas
nyeri.
2.
Ajarkan
teknik relaksasi (nafas dalam)
3.
Beri
kompres hangat (hati-hati dengan klien
yang mengalami perdarahan)
4.
Beri
posisi yang nyaman
5.
Kondisikan
lingkungan yang
tenang di sekitar klien
6.
Catat
repons terhadap obat dan laporkan bila nyeri tidak hilang.
7.
Kolaborasi
pemberian analgesik
sesuai program
terapi.
|
1. Tingkat dan intensitas nyeri merupakan data
dasar yang dibutuhkan perawat sebagai
pedoman pengambilan intervensi, sehingga setiap perubahan yang terjadi harus terus dipantau.
2. Teknik relaksasi (nafas dalam) dapat
membantu menurunkan ketegangan otot, menurunkan mediator stress
seperti katekolamin dan menigkatkan
endorphin yang dapat membantu
untuk mengurangi
rasa nyeri.
3. Kompres hangat dapat memberikan efek vasodilator dan relaksasi
otot sehingga dapat digunakan sebagai terapi
penurun ketegangan yang
dapat berpengaruh
terhadap
penurunan nyeri. Namun harus
diperhatikan penggunaannya pada
pasien dengan perdarahan.
4. Posisi yang nyaman membantu menurunkan ketegangan otot.
Posisi
tidur yang salah dapat mencetuskan kekakuan otot yang mengakibatkan
rasa nyaman terganggu.
5. Kondisi lingkungan yang tenang
dapat membantu menurunkan tingkat stress klien sehingga dapat mempengaruhi respon klien terhadap nyeri.
6. Nyeri berat yang tidak hilang dapat menunjukkan adanya
komplikasi
7. Analgesik berfungsi
untuk melakukan hambatan pada
sensor nyeri sehingga sensasi
nyeri pada klien berkurang.
|
2
|
Resiko tinggi
kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan melalui gaster, muntah distensi dan hipermotilitas gaster,
dan gangguan pembekuan darah, peningkatan metabolisme
|
Tujuan:
Keseimbangan
cairan adekuat
Kriteria
hasil:
-
Dibuktikan oleh tanda vital stabil
-
Membran mukosa lembab,
-
Turgor kulit baik,
-
Pengisian kapier baik,
-
Eliminasi urin normal,
-
Tidak ada muntah
|
1.
Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan
2.
Awasi belanjutnya mual/muntah, kram abdomen,kejang
ringan, kelemahan
3.
Anjurkan cukup minum
4.
Kaji pendarahan yang tidak biasa contohnya pendarahan
pada gusi,mimisan, petekia, melena
5.
Kaji ulang pemeriksaan laboraturium
6.
Beri cairan IV, elektrolit, dan vit. K
|
1. Memberikan
informasi tentang status cairan / volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
cairan.
2.
Muntal berkepanjangan, aspirasi gaster
dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan
klorida.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
4. Protrombin darah menurun dan waktu
koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko
hemarogi.
5. Membantu
dalam proses evaluasi volume cairan
6. Mempertahankan
volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan.
|
3
|
Resiko
tinggi gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual,
muntah, gangguan pencernaan lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat
|
Tujuan:
Klien memenuhi
kebutuhan nutrisi harian
sesuai
dengan tingkat aktivitas
dan kebutuhan
metabolik
Kriteria
hasil:
-Klien dapat menjelaskan
tentang pentingnya
nutrisi bagi
klien
-Bebas dari tanda malnutrisi
-Mempertahankan berat
badan stabil
-Nilai laboratorium
normal (Hb, Albumin)
|
.
1.
Berikan
perawatan oral teratur.
2.
Catat
berat badan saat masuk dan
bandingken dengan saat berikutnya
3.
Kaji distensi
abdomen, berhati-hati, menolak gerak
4.
Pemeriksaan
laboratorium/Hb- Ht-elektrolit-Albumin.
5.
Jelaskan
tentang pengontrolan dan pemberian konsumsi karbohidrat, lemak (makanan
rendah lemak dapat mencegah serangan pada klien dengan kolelitiasis dan
kolesistitis), protein, vitamin, mineral dan cairan yang adekuat.
6.
Anjurkan mengurangi
makanan berlemak dan menghasilkan gas
7.
Konsultasikan
dengan ahli gizi untuk menetapkan kebutuhan kalori harian dan jenis makanan
yang sesuai bagi klien.
8.
Anjurkan
klien istirahat sebelum makan,
9.
Tawarkan makan sedikit namun sering.
10. Batasi asupan cairan saat makan.
11. Sajikan makanan dalam keadaan hangat.
12. Kolaborasi cairan IV
|
1. Perawatan oral dapat mencegah
ketidaknyamanan karena
mulut
kering, bibir pecah dan bau tidak
sedap yang dapat menurunkan nafsu
makan klien.
2.
Berat badan merupakan data yang diperlukan perawat untuk
mengevaluasi perkembangan terapi nutrisi
klien sehingga perawat dapat
menyesuaikan terhadap kebutuhan
intervensi.
3.
Menunjukkan
ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri
4.
Nilai laboratorium merupakan data
yang diperlukan perawat untuk mengevaluasi
keberhasilan atau keefektifan intervensi sehingga
perawat dapat menentukan
intervensi yang sesuai bagi
klien.
5.
Pendidikan pada klien perlu
dilakukan agar klien mengerti
dan
paham tentang intervensi
yang dilakukan perawat sehingga diharapkan klien dapat bersikap adaptif.
6.
Pembatasan
lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri
7.
Ahli gizi
dapat menghitung kalori yang dibutuhkan klien menurut aktivitas
yang dilakukan klien,
sehingga
diharapakan jumlah asupan kalori yang dikonsumsi klien dapat
memenuhi
kebutuhan harian, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
8.
Kondisi tegang dapat menurunkan
nafsu makan klien, istirahat dapat mengurangi ketegangan klien sehingga dapat membantu klien dalam meningkatkan nafsu makan.
9.
Makan terlalu banyak dalam satu waktu dapat menyebabkan distensi
lambung yang berakibat
ketidaknyamanan bagi klien
sehingga
nafsu makan klien makin
menurun.
10. Asupan cairan berlebih saat makan menyebabkan distensi
lambung yang mengakibatkan ketidaknyamanan.
11. Makanan yang sudah dingin menyebabkan rasa
yang kurang
menyenangkan bagi klien sehingga menurunkan nafsu makan klien.
12. Cairan glukosa
IV dapat diberikan
apabila
pasien benar-benar tidak
mendapatkan
asupan per-oral, cairan glukosa IV juga
dapat
menyediakan kalori bagi
klien
sehingga
klien tidak mengalami
kekurangan nutrisi.
|
3.4 EVALUASI
1)
Klien merasa
nyaman dan nyeri berkurang
2)
Tidak
terjadi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit
3)
Tidak terjadi
gangguan pemenuhan nutrisi
4)
Tidak terjadi
komplikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar